Islam, Gerakan ataukah kultur ?

Oleh: Abdurrahman Wahid

Ketika menghadapi Hari Waisak 2546 pada 26 Mei 2002 penulis mendapat undangan dari KASI (Konferensi Agung Sangha Indonesia) untuk hadir dalam acara terse but di Balai Sidang Senayan Jakarta. Penulis menjawab akan hadir. Dan, rombongan KASI berlalu dengan hati lega. Setelah berjalan beberapa waktu, penulis mendengar bahwa Megawati Soekarnoputri sebagai personifikasi kepala negara dan pemerintah akan datang pada peringatan yang sama di Candi Borobudur oleh Walubi (Perwakilan Umat Buddha Indonesia), pada waktu yang besamaan pula. Di saat itulah ada orang yang bertanya pada penulis, akan datangkah ke acara KASI?

Ketika penulis menjawab ya, segera disusul dengan pertanyaan berikut, hadirkah Anda dalam acara KASI itu yang berbeda dari pemerintah? Penulis menjawab, akan hadir. Apakah alasannya? Karena penulis yakin, KASI mewakili para bhiksu dan agamawan dalam agama Buddha di negeri kita. Sedangkan Walubi adalah organisasi yang dikendalikan bukan oleh agamawan. Dengan kata lain, Walubi adalah organisasi milik orang awam (laymen)[1]. Prinsip inilah yang penulis pakai sejak awal dalam bersikap pada sebuah organisasi agama.

Pada Hari Raya Waisak itu, sebelum berangkat ke Balai Sidang, penulis mendengar bahwa Megawati Soekarnoputri ternyata tidak jadi hadir untuk keperluan tersebut di Candi Borobudur. Namun, pemerintah diwakili Menteri Agama. Dengan demikian jelas, pemerintah mengakui Walubi sebagai perwakilan umat Buddha di negeri kita. Sedangkan di Balai Sidang hadir Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jacob Nuwa Wea, yang bukan membidangi masalah agama. Dengan ungkapan lain, pemerintah justru mengutamakan Walubi sebagai perwakilan umat Buddha dan bukannya KASI.

Nah, disamping penulis, juga hadir Kardinal Dharmaatmadja, Haksu Tjhie Tjay Ing dan seseorang yang mewakili Majelis Ulama Indonesia (MUI). Untunglah, datang Akbar Tandjung mewakili DPR dan Ketua Bappenas Kwik Kian Gie yang bertindak selaku penasihat panitia. Namun, kesan bahwa pemerintah lebih mengutamakan Walubi dan bukannya KASI sebagai perwakilan umat Buddha di Indonesia tidak dapat dihindari lagi.
Sebenarnya, sikap tidak jelas pemerintah itu sangat menguntungkan KASI. Dengan ungkapan lain, di hadapan kekuasaan pemerintah yang tidak begitu melindunginya, ternyata KASI justru ditunjang dua pihak yang penting, pihak agamawan Buddha sendiri dan para pemuka agama­agama lain yang menghargainya. Bukankah kedua modal itu akan memungkinkan KASI dapat bergerak lebih maju?

Kejadian di atas menjadi lebih menarik lagi, jika kita bandingkan dengan keadaan internal kaum muslim di Indonesia. Kalau dalam agama­agama lain seorang agamawan diangkat organisasi tertinggi dari agama tersebut, yang biasanya didominasi para agamawan, justru dalam Islam hal itu tidak ada. Bukankah justru Rasulullah Saw sendiri yang bersabda, “Tidak ada kependetaan dalam Islam (lâ rahbâniyyata fî al-Islâm).” Karenanya, pantaslah kalau dalam Islam tidak ada pihak yang memiliki otoritas dalam pengangkatan ulama. Semua terserah pada pengakuan masyarakat kepada seseorang untuk dianggap sebagai ulama. Karena kekosongan itu, lalu organisasi­organisasi Islam meletakkan para wakil mereka dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI). Apakah yang terjadi? Hilangnya keulamaan dalam arti penguasaan ilmu­ilmu agama dalam kepengurusan MUI itu sendiri.

Seseorang yang hanya hafal sepuluh ayat al-Qur’an dan sepuluh hadis Nabi, sudah bisa masuk dalam jajaran pimpinan harian MUI. Seolah aspek penguasaan ilmu­ilmu agama di lingkungan MUI tidak bersifat baku, padahal merekalah pembawa tradisi Islam kultural dalam kehidupan umat. Jadi organisasi itu tidak mencerminkan kelompok agamawan, melainkan hanya tampilan wakil gerakan­gerakan agama atau organisasi, seperti Muhammadiyah, NU, dan sebagainya.

Dari sini letak kelemahan dan justru kekuatan yang dimiliki umat Islam. Dikatakan kelemahan, karena tidak ada kohesi dan kejelasan siapa yang diterima dan tidak sebagai agamawan. Karena langkanya kohesi intern umat itu, cara termudah mempersatukan seluruh elemen umat Islam adalah menentukan musuh bersama, dipilihlah kekuatan Barat yang dianggap merusak kekuatan Islam. Dan dikatakan kekuatan, karena tak adanya sikap dominan dari para agamawan. Oleh sebab itu, pemikiran­pemikiran orang awam tentang agama diperlakukan sama dengan pemikiran para ahli agama itu sendiri.

Contoh konkret yang dapat dikemukakan di sini, yaitu kisah Ki Panji Kusmin[2] di awal­awal tahun 1970­an. Orang awam ini dapat digambarkan sebagai pihak representatif yang mewakili Islam, atau justru sebaliknya. Kemudian beberapa tokoh muslim yang memiliki kekuatan sendiri, walau didukung oleh kekuatan pemerintahan, menentang pandangannya yang memandang Tuhan tidak perlu dibela siapa pun dalam kebesaran­Nya. Sangat nyata, dengan berniat membela­Nya berarti terjadi dikotomi pandangan para tokoh agama berpandangan formal itu.

Karena tiap orang dapat menyatakan dirinya mewakili Islam, maka harus ada standar minimal untuk menilai apakah sese­ orang dapat dianggap mewakili Islam atau tidak. Tanpa kriteria ini, hanya situasi semrawutlah yang lahir, seperti yang terjadi sekarang ini. Di sinilah arti penting dari sabda Nabi Muham­ mad Saw: “Kalau persoalan diserahkan kepada bukan ahlinya, tunggulah hari kiamat, (idzâ wussida al-amru ilâ ghairi ahlihi, fantazdiri al-sâ’ah).”[3] Sanggupkah kaum muslimin di negeri kita menetapkan kriteria tersebut?

Catatan Kaki:
[1] Baik pihak KASI maupun Walubi mengaku sebagai organisasi paling sah yang memayungi seluruh umat Buddha Indonesia. Saat ini (2006), organisasi KASI ditingkat nasional dijalankan oleh seorang Sekretaris Jenderal Bhiksu Vidya Sasana Sthavira. Sedangkan DPP Walubi dipimpin oleh Ketua Umum Siti Hartati Murdaya.
[2] Ki Panji Kusmin adalah nama samaran pengarang cerpen Langit Makin Mendung dalam Majalah Sastra (1971). Cerpen yang dinilai menghina Tuhan itu, menyeret pemimpin majalah Sastra, HB Jassin dihukum 1 tahun penjara, karena tidak mau membeberkan identitas asli Panji Kusmin.
[3] Hadis ini diriwayatkan oleh Al­Bukhari dalam Bab Al-Ilm lewat jalur Abu Hurairah. Statemen Nabi ini muncul karena dialog dan pertanyaan dari seorang badui yang menanyakan tentang kapan terjadinya kiamat.
Dikutip sepenuhnya dari Abdurrahman Wahid. 2006. Islamku Islam Anda Islam Kita. Jakarta: The Wahid Institute.
Dikutip dari: http://santrigusdur.com

Islam dan Formalisme ajarannya

Oleh: Abdurrahman Wahid

Dalam sejarah umat manusia, selalu terdapat kesenjang­ an antara teori dan praktek. Terkadang kesenjangan itu sangatlah besar, dan kadang kecil. Apa yang oleh paham komunisme dirumuskan dengan kata “rakyat”, dalam teo­ ri dimaksudkan untuk membela kepentingan orang kecil; tapi dalam praktek justru yang banyak dibela adalah kepentingan kaum aparatchik. Itupun berlaku dalam orientasi paham terse­ but, yang lebih banyak membela kepentingan penguasa daripada kepentingan rakyat kebanyakan. Karena itu, kita harus berhati­ hati dalam merumuskan orientasi paham ke­Islaman, agar tidak mengalami nasib seperti paham komunisme.

Orientasi paham ke­Islaman sebenarnya adalah kepenting­ an orang kecil dalam hampir seluruh persoalannya. Lihat saja kata “maslahah ‘ammah”,1 yang berarti kesejahteraan umum. Inilah seharusnya yang menjadi objek dari segala macam tindak­ an yang diambil pemerintah. Kata kesejahteraan umum dan/atau kemaslahatan umum itu tampak nyata dalam keseluruhan umat Islam. Yang langsung tampak, umpamanya, adalah kata kunci da­lam adagium fiqh: “tindakan/kebijakan seorang pemimpin atas rakyat (yang dipimpin) sepenuhnya bergantung kepada kebutuh­an/kesejahteraan mereka (tasharruf al-imâm ‘ala al-ra’iyyah manûthun bi al-mashlahah).”2 Adapun yang tidak langsung mengenai kebutuhan orang banyak dapat dilihat dalam adagium lain: “menghindarkan keru­ sakan/kerugian diutamakan atas upaya membawakan keuntung­ an/kebaikan (dar’u al-mafâsid muqaddam ‘alâ jalbi al-mashâ- lih).”3

Artinya, menghindari hal­-hal yang merusak umat lebih diutamakan atas upaya membawakan kebaikan bagi mereka. De­ ngan demikian, menghindari kerusakan dianggap lebih berarti daripada mendatangkan kebaikan. Adagium inilah yang diguna­ kan Dr. Amien Rais untuk meyakinkan penulis untuk menerima pencalonan sebagai Presiden Republik Indonesia, tiga tahun lalu. Karena Amien yakin bangsa ini waktu itu belum dapat meneri­ma seorang wanita (Megawati)4 sebagai Presiden negara, hingga dikhawatirkan akan ada perang saudara jika hal itu terjadi.

Nah, pengaturan melalui kesejahteraan/keselamatan/ke­ utuhan sesuatu, secara langsung atau tidak langsung, menjadi pegangan gerakan­gerakan Islam di negeri kita semenjak dahu­ lu. Contoh terbaik dalam hal ini adalah gugurnya Piagam Jakarta (The Jakarta Charter) dari Undang­Undang Dasar (UUD) kita. Para pemimpin berbagai gerakan Islam pada saat itu, tanggal 18 Agustus 1945, setuju membuang Piagam Jakarta tersebut dari UUD ‘45, agar bangsa kita yang heterogen dalam asal­usul mere­ ka itu dapat bergabung ke dalam pangkuan Republik Indonesia. Pendapat yang dipegang oleh Ki Bagus Hadikusumo dan KHA Kahar Mudzakir dari Muhammadiyah, Abi Kusno Cokrosuyoso dari Sarekat Islam, A. Rahman Baswedan dari Partai Arab Indo­ nesia (PAI), A. Subardjo dari Masyumi, H. Agus Salim dan A. Wahid Hasjim dari Nahdlatul Ulama (NU),5 itu jelas menonjol­ kan semangat persatuan Indonesia pada tingkat paling tinggi. Bahwa para ulama fiqh (Hukum Islam) tidak menolak tindakan itu, menunjukkan dengan jelas bahwa keutuhan dan kesejah­ teraan umat dinilai begitu tinggi oleh berbagai gerakan Islam.

Dengan demikian, tertolaklah anggapan bahwa Islam ha­nya bersandar pada formalitas belaka. Secara kultural, masuknya beberapa unsur budaya lokal ke dalam budaya Islam, atau seba­ liknya, merupakan bukti kuat akan hal ini. Tari Seudati yang di­ gambarkan dengan indahnya oleh James Siegel6 dalam The Rope of God, sebagai kesenian daerah Aceh yang bernapaskan praktek­ praktek kaum sufi itu. Demikian pula, diciptakannya tembang Ilir-ilir oleh Sunan Ampel, menunjukkan bagaimana terjadi sa­ ling pengaruh­mempengaruhi yang sangat halus antara budaya daerah kita dan budaya agama yang dibawakan oleh Islam. Demikian pula manifestasi budaya santri dalam tradisi Tabot8 di Sumatera Barat dan Bengkulu. Dengan mudahnya wahana ekspresi keagamaan kaum Syi’ah itu menjadi budaya daerah setempat di hadapan tindakan-­tindakan “budaya Sunni”

Nah, hal ini yang menjadi tantangan kita dewasa ini. Ayat kitab suci al­-Qur’an “Dan dalam diri utusan Tuhan benar­benar telah ada contoh yang sempurna bagi orang yang mengharapkan kerelaan Allah, kebahagiaan akhirat dan senantiasa ingat akan tanda­tanda kebesaran Allah (laqad kâna lakum fî rasûlillâhi uswatun hasanatun li man kâna yarju Allâha wa al-yauma al âkhira wa dzakara Allâha katsîra)” (QS al-Ahzâb [33]:21). Dalam kasu makro ayat itu dapat juga digunakan sebagai peng­ ingat bagi kita akan pentingnya melestarikan lingkungan alam.

Hal­hal seperti ini seharusnya menjadi tekanan bagi gerak­ an­gerakan Islam dalam membangun bangsa. Bukan malah me­ mentingkan formalisasi ajaran­ajaran agama tersebut dalam kehidupan bernegara, yang tidak menjadi kebutuhan utama masyarakat. Jika penampilan dari agama Islam terwujud tanpa formalisasi dalam kehidupan bernegara, maka agama tersebut menjadi sumber inspirasi bagi gerakan­-gerakan Islam dalam ke­ hidupan bernegara, seperti di negara ini.

Dasar perjuangan seperti inilah yang sebenarnya meng­ ilhami juga lahirnya partai­partai CDU (Christian Democratic Union, Uni Demokratik Kristen)9, di Jerman dan sejumlah nega­ ra lain. Inti dari pandangan seperti itu, terletak pada kesadaran bahwa agama harus lebih berfungsi nyata dalam kehidupan, dari­ pada membuat dirinya menjadi wahana formalisasi agama yang bersangkutan dalam kehidupan bernegara. Esensi inilah yang telah dijalankan dengan sangat baik oleh berbagai gerakan Islam di negara ini semenjak beberapa puluh tahun yang lalu.

1 Teori tentang maslahah telah dirangkum dan dibahas secara kompre­ hensif oleh Izzuddin Ibn Abdissalam dalam karyanya Qawa’idul Ahkam Fie Masalih Al-An
2 Kaidah ini sangat populer dalam “turas qadim/literatur klasik” pesantren mulai dari Al-Asybah wa an-Naza’ir karya Jalaluddin As-Suyuti dan juga judul kitab yang sama karya Ibnu Nujaim al­Hanafi sampai dengan lite­ ratur karya Ulama kelahiran Padang Indonesia yang sangat masyhur di Saudi Arabia, Syeikh Yasin al­Fadany Al­Makky yang berjudul “Al-Fawa’id al-Janiy- yah ala Syarh Al-Mawahib Al-Saniyyah Ala al-Fara’id al-Bahiyyah”
3 Adagium ini merupakan salah satu dari lima adagium pokok dalam diskursus kaidah fiqih yaitu al-umur bimaqashidiha, al-yaqin la yuzalu bi as- syak, al-dlarar yuzalu, al-masyaqqat tajlibu at-taisir dan dar’u al-mafâsid muqaddam ‘alâ jalbi al-mashâlih
4 Megawati Soekarno Putri, begitu nama lengkapnya, adalah putri per­ tama presiden Republik Indoensia Soekarno yang kemudian menjadi presiden ke­5 RI.
5 Mereka semua adalah anggota PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang mewakili berbagai kelompok masyarakat dan berbagai kelom­ pok Islam yang bertugas merumuskan UUD 1945 seperti yang kita kenal seka­ rang. Kini UUD 1945 itu telah diamandemen beberapa pasalnya setelah tum­ bangnya Orde Baru, kecuali Preambule atau Pembukaan tidak diperkenankan untuk diubah.
6 James Siegel adalah Profesor Antropologi dan Kajian Asia di Uni­ versitas Cornell Amerika Serikat. ‘The Rope of God’ bukunya yang mengulas tentang sejarah Aceh diterbitkan pertama kali tahun 1969. Pada tahun 2000, buku tersebut diperbaharui dengan memasukkan dua bab sejarah kontemporer Aceh.
7 Salah seorang wali dari Wali Songo yaitu Sunan Ampel (versi lain me­ nyebut Sunan Kalijaga) menciptakan tembang ini sebagai sarana syi’ar Islam. Tembang berbahasa Jawa ini juga diyakini sarat dengan nilai tasawuf.
8 Tradisi Tabot diadaptasi dari upacara Assyura, hari berkabung bagi kaum muslim Syi’ah atas gugurnya Husain bin ‘Alî bin Abi Thalib, cucu Rasu­ lullah Saw dari puteri Beliau Fâthimah al-Zahra. Husain gugur dalam perang tak seimbang antara 40 pengikut beliau dengan ribuan pasukan tentara ‘Ubai­ dillah bin Zaid di Padang Karbala Iraq, pada 10 Muharam 61 H (681 M).
9 Dalam anggaran dasarnya partai ini mengklaim sebagai partai yang diinspirasi oleh nilai­nilai etika sosial gereja kekristenan dan nilai­nilai tradisi liberal pencerahan Eropa. Dilahirkan pada tahun 1945 CDU berangkat dari partai lokal sebelum partai yang bersifat nasional terbentuk.
Dikutip sepenuhnya dari Wahid, Abdurrahman. 2007. Islamku, Islam Anda, Islam Kita.
Dikutip dari: http://santrigusdur.com

Islam dan Deskripsinya

Oleh: Abdurrahman Wahid

Djamil Suherman[1] menulis beberapa cerita pendek tentang dunia pesantren dengan tokoh utamanya Ummi Kulsum. Di jelaskannya, bagaimana di pesantren orang berbudaya tersendiri yang lepas dari budaya umum, yang ada di pedesaan kita. Termasuk di dalamnya penggambaran para santri yang mencintai buah hati mereka, tanpa boleh berhubungan sama sekali. Penggambaran itu oleh para kritikus sastra, seperti H.B. Jassin,[2] sebagai deskripsi terbaik tentang dunia pesantren. Dengan demikian, apa yang dituliskan Djamil Suherman menen- tukan pandangan kita tentang para penghuni pondok pesantren dan jaringan- jaringan mereka, dengan sistem nilai yang tak kalah dahsyatnya dari sistem nilai yang ada dalam cerita-cerita silat/kungfu karya Chin Yung[3], yang diterjemahkan dalam bahasa kita secara terpisah oleh O.K.T stsu Boe Beng Tjoe[4], kedua bahasa itu mencapai dua puluh lima judul ( per judul 20 jilid).

Sebaliknya “Robohnya Surau Kami”, karya A.A. Navis, menggambarkan realita kegundahan hati para pengikut tradisionalisme agama di Ranah Minang, karena tidak menemukan pemecahan rasional atas krisis multidimensional yang dihadapi lembaga pondok pesantren di kawasan tersebut. Nada lebih mementingkan pembaharuan dalam karya A.A. Navis ini tampak jelas, dan sesuai dengan kenyataan adanya krisis keagamaan yang mendalam di Sumatera Barat. Deskripsi situasi itu oleh A.A. Navis[5], jelas menunjukkan dinamika lain dari dunianya Djamil Suherman yang terasa sangat romantis. Perbandingan kedua karya itu saja, sudah menunjukkan pentingnya arti sebuah deskripsi dalam memaparkan situasi kehidupan yang tengah digumuli.

Maka, jelaslah dari perbandingan di atas, bahwa deskripsi kehidupan beragama di sebuah masyarakat pada suatu waktu, sangatlah penting artinya bagi para pengamat. Romantisme pondok pesantren, dan kemurungan para pencari jawaban atas krisis yang berlarut-larut, menunjukkan dengan jelas besarnya perbedaan dalam kehidupan beragama yang dijalani oleh dua buah masyarakat yang berbeda. Menjadi kewajiban kitalah untuk sanggup mencari benang merah yang menghubungkan keduanya. The Singer, Not The Song “, dari tahun 50 atau 60 -an, John Mills[6] yang menjadi Pendeta Keogh berusaha melakukan konversi kepada agama Kristen atas diri Dirk Bogarde[7] yang bermain sebagai Ancleto, si bandit yang piawai. Akhir- nya, ketika Bogarde dikepung oleh aparat negara dan tertembak, di saat itulah si pendeta yang ikut ditembus peluru merangkak mendekatinya. Di saat menjelang kematian mereka, Bogarde yang telah memeluk agama Kristen, melihat Pendeta Mills yang mengorbankan jiwanya untuk mengkonversikannya. Ia menjadi Kristen sungguh- sungguh karena pengorbanan Pendeta Mills dan bukan karena “kebenaran” yang dibawakan dan dikhotbah- kan pendeta tersebut.

Jelas dari gambaran di atas, bagi seorang Bogarde yang sudah muak dengan `kebenaran ajaran agama”, yang lebih ber- pengaruh atas perilakunya adalah pengorbanan dari `pembawa kebenaran” itu sendiri. Dengan kata lain, setiap orang melihat segala sesuatu dari sudut pandangan tertentu yang terkadang kita anggap tidak penting. Permasalahannya bagi kita adalah pilihan-pilihan pandangan itu sendiri, yang sangat ditentukan oleh deskripsi yang dikemukakan. Jika ini kita abaikan, berarti kita melihat agama sebagai sesuatu yang tidak hidup, melainkan kita hanya melihat sisi universal dan ideal dari agama tersebut.

Dalam kenyataan sehari-hari kita melihat pentingnya arti deskripsi yang diberikan atas sebuah “kebenaran agama”. Akibat dari melupakan hal ini, kita lalu melakukan idealisasi universal atas ajaran agama, bukannya melihat agama sebagai sebuah proses yang dijalani secara berbeda-beda oleh orang-orang yang berlainan, dan dengan sendirinya membawa pemahaman yang tidak sama pula. Pendekatan idealisasi universal di atas memang sangat penting, tetapi juga sama pentingnya untuk melihat bagaimana pengertian orang tentang sebuah agama dibangun dari kenyataan-kenyataaan empirik dalam kehidupan kita.

Kedua pendapat di atas, yaitu pendekatan empirik di satu pihak dan pendekatan idealisme-universal di pihak lain, penting untuk sama-sama kita hayati dan kita pikirkan lebih jauh. Kepin- cangan untuk melihat sebuah agama dari pendekatan formal dan universal, akan menghasilkan sudut pandang ideal tanpa mema- hami hakikat agama itu sendiri. Sebaliknya, jika hanya menekan- kan diri pada aspek empirik belaka sama saja artinya dengan me- misahkan kehidupan dunia dari kehidupan akhirat. Dewasa ini, kehidupan dua organisasi keagamaan Is- lam terbesar di negeri kita, yaitu NU dan Muhammadiyah seolah terpaku dalam pandangan universal yang idealistik, yaitu bagaimana sumber-sumber tekstual membentuk hukum agama/secara ideal; dan dari situ dibangun sebuah kerangka universal tentang `kehidupan menurut ajaran Islam”. Terkadang sudut pandang ini tidak bersinggungan dengan kepentingan sebenarnya di masyarakat. Umpamanya saja, mengenai perjudian dan hiburan malam. Yang lebih dipentingkan adalah melarang keduanya, tanpa menghilangkan sebab-sebab utama yang mendukungnya. Bagaimana judi akan terbasmi kalau ketidakpastian hukum masih merajalela? Bukankah yang kaya dan berpunya akan selalu memenangkan perkara hukum? Dengan ketidakpastian itu, herankah kita kalau ada orang ber- judi untuk mencari kekayaan dengan cepat?

Nah, di sinilah terletak arti penting deskripsi tentang Islam. Dari manakah ia harus dilihat? Dari kenyataan hidup orang Islam (berarti deskripsi empirik), ataukah dari sudut ajaran formal (berarti pendekatan ideal formalistik) yang bersifat universal? Tergantung dari kemampuan kita menjawab hal ini dengan baik. Dari situ “nasib” sejumlah kajian Islam di berbagai lembaga penelitian dewasa ini diuji.

[1] Djamil Suherman, seniman dan penulis puisi angkatan 1950 -an yang terkenal dan menaruh perhatian besar terhadap pesantren serta terhadap per- juangan dan kepahlawanan kaum muda. Beberapa karyanya dibukukan dalam bentuk kumpulan puisi dan cerita- cerita pendek.
[2] Hans Bague (HB) Jassin (1917-2000) itulah nama aslinya. Sastrawan dan kritikus sastra yang lebih dikenal Paus Sastrawan dan Wali Sastra Indo- nesia ini adalah dokumenter sastra terbaik yang dimiliki Indonesia hingga sekarang. Lembaganya, Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin di Taman Is- mail Marzuki menyimpan ribuan karya-karya sastra Indonesia. Gigihnya mem- bela kebebasan berkarya membuat dia pernah divonis penjara karena menolak mengungkap penulis cerpen `Panji Kusmin” yang dianggap menghina agama sehingga diseret ke pengadilan dan sampai sekarang belum terungkap siapa penulis cerpen tersebut.
[3] Nama asli novelis silat kelahiran Haining, China 6 Pebruari 1924 ini adalah trilogi Sia Tiaw Enghiong, Sin Tiaw Hiaplu, dan To Liong To.
[4] Oey Kim Tiang atau OKT alias Boe Beng Tjoe alias Aulia (1903 – 1995). Pria kelahiran Tangerang ini sejak sekitar tahun 1950 -an telah menerjemahkan lebih dari 100 judul cerita silat ke dalam bahasa Indonesia.
[5] Ali Akbar Navis, demikian nama lengkapnya, adalah salah satu sas- trawan besar Indonesia. Mulai memperkenalkan karya-karya fiksinya kepada publik pada awal tahun 1950 -an dan langsung terkenal karena ciri khas kri- tik sosialnya yang tajam dan terkenal satiris. Dilahirkan di Padangpanjang, Sumatera Barat, tahun 1924 Navis sampai sekarang memilih tetap tinggal di daerahnya sambil mengajar dan terus menulis. Karya-karyanya terus mengalir di media massa lokal maupun nasional. Novelnya yang paling terkenal juga sangat kritis terhadap keadaan keberagamaan yang terbit sekitar 1956 berjudul Robohnya Surau Kami.
[6] Sir John Mills (1908 – 2005), adalah seorang sineas terkenal asal Inggris. Dia mengabdikan hidupnya untuk film selama 70 tahun. Pernah mengembara di Hollywood, AS, tetapi kemudian kembali ke Inggris untuk menjadi penulis skenario, aktor, dan mempromosikan anak-anaknya menjadi aktor dalam berbagai film. Dua anak perempuannya menjadi aktris terkenal di Inggris. Pernah mendapatkan Oscar dalam salah satu filmnya. Film dengan judul The Singer Not the Song adalah salah satu karya diujung ketenarannya tahun 1961. Setelah itu memang masih memproduksi berbagai film tetapi tidak lagi setenar sebelumnya.
[7] Sir Dirk Bogarde (1921- 1999). Aktor kelahiran Inggris keturunan Be- landa ini bernama asli Derek Van den Bogaerde. Akhir tahun 1930 Dirk ber- gabung dalam Kesatuan Intelejen Foto Udara Angkatan Darat Inggris. Dia per- nah ditugaskan di Jerman, India, Malaysia dan Jawa. Dirk menulis `A Gentle – tugas di Jawa.

Dikutip sepenuhnya dari Abdurrahman Wahid. 2006. Islamku Islam Anda Islam Kita. Jakarta: The Wahid Institute.
Dikutip dari: http://santrigusdur.com

Islam: Kajian Klasik Ataukah Wilayah?

Duta Masyarakat Baru, Oleh: Abdurrahman Wahid*

Pada waktu mendiang Dr. Soedjatmoko masih menjabat sebagai Rektor
Universitas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Tokyo, penulis diundang
ke sana untuk mengemukakan pandangan tertulis mengenai kajian Islam.
Undangan tersebut ternyata membawa kepada sebuah pengembaraan yang
sangat menarik hati penulis. Di samping bertemu Dr. Hassan Hanafie, yang
sangat dihormati penulis, penulis juga bersama Dr. Soedjatmoko menonton
film Gandhi di salah sebuah bioskop di Tokyo. Di situlah penulis
mendapatkan gambaran yang sangat hidup tentang diri tokoh pejuang
anti-kekerasan tersebut, yang selama ini hanya penulis kenal dari
buku-buku belaka.

Penulis juga sempat di taman Jojogi Park bersama Dr. Soedjatmoko, untuk
melihat bagaimana masyarakat Jepang menampung aspirasi anak muda yang
gila dengan musik barat mutakhir, dan menari/berdansa dengan iramanya.
Dari pada mengganggu masyarakat di daerah tempat tinggal/pemukiman,
aspirasi seperti itu disediakan wadah penampungan, dari pada ditindak
secara represif. Mungkin hal ini setara dengan adanya taman Hayde Park
di tengah-tengah kota London, tempat siapapun boleh berdemonstrasi di
tengah-tengah hingar bingarnya kota.

Penyaluran aksi protes seperti ini, di tempat-tempat umum, sebenarnya
telah ada dalam budaya Jawa, dengan adanya alun-alun. Dalam konsep
budaya semula, alun-alun juga berfungsi sebagai tempat warga negara yang
ingin menyampaikan protes pada keraton atas sesuatu hal, dengan cara
duduk di tengah-tengah hujan lebat dan sengatan matahari. Raja yang
mengetahui hal itu, akan segera mengadakan pemeriksaan siapa yang
bersalah dalam hal ini. Yang tidak jelas, kalau Raja sendiri yang
bersalah, apakah sangsi yang harus dijalaninya?

*****

Dalam presentasinya, di hadapan staf Dr. Soedjatmoko, penulis menyatakan
bahwa kajian Islam tidak dapat hanya bersifat tunggal. Kajian tunggal
itu, sebagaimana dijalankan oleh beberapa perguruan Islam sendiri, hanya
akan melahirkan kajian klasik tentang ajaran Islam. Kalau itu yang
terjadi, maka hanya ada satu warna kajian Islam, yang sebenarnya menjadi
inti formalisme agama dengan ujung Negara Islam. Nah, kalau kita tidak
menginginkan negara seperti itu, apakah yang harus dilakukan di bidang
kajian?

Untuk menghindarinya, harus dibuat lembaga yang melakukan kajian kawasan
(area studies) bagi bangsa-bangsa muslim. Dengan demikian, di samping
persamaan-persamaan ajaran yang dimiliki kaum muslimin se-dunia, seperti
peribadatan dalam rukun Islam, yang menunjukkan persamaan penerapan
ibadat itu sendiri oleh masyarakat, juga pengetahuan kita akan perbedaan
dalam cara beribadat itu. Dengan mengetahui persamaan dan perbedaan yang
dimiliki sebuah kawasan muslim dengan/dari kawasan-kawasan lain akan
memperkaya pandangan kita tentang bagimana Islam dijalankan oleh
masyarakat-masyarakat muslim yang saling berbeda tersebut. Hanya dengan
pengetahuan seperti itulah kaum muslimin akan mengenal diri mereka
dengan lebih baik.

Kajian kawasan yang diusulkan penulis adalah: Islam di kawasan Afrika
Hitam, kawasan Afrika Utara dan negeri-negeri Arab, Islam di kawasan
peradaban Turko-Persia-Afghan, kawasan Asia Selatan, kawasan Asia
Tenggara dan kaum minoritas muslim di negeri-negeri bertehnologi maju
(advanced countries). Digabungkan dengan sebuah pusat kajian klasik,
dapatlah diharapkan kita akan memiliki pusat-pusat kajian (study
centers) yang akan sangat memperkaya rangkaian tindakan-tindakan untuk
memajukan agama tersebut.

*****

Kewajiban di atas, sebagian telah dipikul oleh berbagai Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) di negara kita. Tetapi wajah klasik Islam yang masih
mendominasi kehidupan kaum muslimin di luar kampus, akan membawa
gambaran yang keliru tentang Islam. Agama ini bukan hanya milik sebuah
golongan atau dimonopoli oleh sebuah pihak saja, melainkan juga dominasi
tampak nyata melalui berbagai gerakan dan institusi yang mewakili agama
tersebut. Sebuah upaya untuk mengakui beberapa perbedaan antara berbagai
penghayatan Islam di kawasan-kawasan dan lembaga-lembga tersebut, justru
menampilkan kekayaan yang besar.

Dengan demikian, menjadi nyatalah bagi kita bahwa kosmopolitanisme Islam
justru di bangun oleh kekayaan yang berbeda-beda tersebut. Karena itu,
sangat wajarlah apabila kekayaan seperti itu dimunculkan oleh studi
kawasan yang berbeda-beda. Mengingkari hal ini, berarti menolak
kenyataan empirik yang ada dalam Islam sejak lahir sebagai agama
samawi/langit.

Perbedaan adalah keniscayaan yang tidak dapat dibantah dalam kenyataan
sejarah Islam sendiri. Hal itu diperkuat pula oleh firman Allah dalam
kitab suci Al-qur’an: “sesungguhnya telah Ku-ciptakan kalian sebagai
lelaki dan perempuan, dan Ku-jadikan kalian dalam bentuk bangsa-bangsa
dan suku-suku bangsa, untuk saling mengenal satu sama lain, sesungguhnya
yang termulya di antara kalian di (mata) Allah adalah mereka yang paling
bertaqwa” (inna khalaqnaakum min dzakarin wa untha waja’alnaakum
syu’uuban wa qabaaila li ta’arafu, inna akramakum inda Allahi atqakum).
Perbedaan itulah yang menolak gagasan Negara Islam, karena penolakan
Islam terhadap uniformitas masyarakat yang dipaksakan oleh sebuah
kekuasaan.

Paso, 27/5/2002
*Penulis adalah ketua umum dewan syura DPP PKB, di ‘copy paste’ dari http://wahidinstitute.blogspot.co.uk

Islam Dan Hak Asasi Manusia

Duta Masyarakat Baru, Oleh: Abdurrahman Wahid*

Tulisan-tulisan yang menyatakan Islam melindungi Hak Asasi Manusia
(HAM), seringkali menyebutkan Islam sebagai agama yang paling
demokratis. Pernyataan itu, seringkali tidak sesuai dengan kenyataan
yang terjadi. Justru di negeri-negeri muslim-lah terjadi banyak
pelanggaran yang berat atas HAM, termasuk di Indonesia. Kalau kita tidak
mau mengakui hal ini, berarti kita melihat Islam sebagai acuan ideal,
yang sama sekali tidak tersangkut dengan HAM. Dalam keadaaan demikian,
klaim Islam sebagai agama pelindung HAM hanya akan terasa kosong saja,
tidak memiliki pelaksanaan dalam praktek kehidupan.

Di sisi lain, kita melihat para penulis seperti Al-Maudoodi, seorang
pemimpin muslim yang lahir di India dan kemudian pindah ke Pakistan di
abad yang lalu, justru tidak mempedulikan hubungan antara Islam dan HAM.
Baginya, bahkan hubungan antara Islam dan Nasionalisme justru tidak ada.
Nasionalisme adalah idiologi buatan manusia, sedangkan Islam adalah
buatan Allah swt. Bagaimana mungkin mempersamakan sesuatu buatan Allah
swt dengan sesuatu buatan manusia? Lantas, bagaimanakah harus
diterangkan hubungan antara perkembangan Islam dalam kehidupan yang
dipenuhi oleh tindakan-tindakan manusia? Al-Maudoodi tidak mau menjawab
pertanyaan ini, sebuah sikap yang pada akhirnya menghilangkan arti acuan
yang digunakannya.

Bukankah Liga Muslim (Muslim League) yang didukungnya adalah buatan Ali
Jinnah dan Lia Quat Ali Khan, yang kemudaian melahirkan Pakistan, yang
tiga kali berganti nama antara Republik Pakistan dan Republik Islam
Pakistan? Bukankah ini berarti campur tangan manusia yang sangat besar
dalam pertumbuhan negeri muslim itu? Dan, bagaimanakah harus dibaca
tindakan Pervez Musharraf yang pada bulan lalu telah memenangkan
kepresidenan negeri itu melalui plebisit, bukannya melalui pemilu? Dan
bagaimana dengan tuduhan-tuduhannya, bahwa para pemuka partai politik,
termasuk Liga Muslim, sebagai orang-orang yang korup dan hanya
mementingkan diri sendiri?

*****

Banyak negeri-negeri muslim yang telah melakukan ratifikasi atas
deklarasi universal HAM, yang dikumandangkan oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) dalam tahun 1948. Dalam deklarasi itu, tercantum
dengan jelas bahwa berpindah agama adalah Hak Asasi Manusia. Padahal
Fiqh /Hukum Islam sampai hari ini masih berpegang pada ketentuan, bahwa
berpindah dari agama Islam ke agama lain adalah tindak kemurtadan
(apostasy), yang patut dihukum mati. Kalau ini diberlakukan di negeri
kita, maka lebih dari 20 juta jiwa manusia Indonesia yang berpindah
agama dari Islam ke Kristen sejak tahun 1965, haruslah dihukum mati.
Dapatkah hal itu dilakukan? Sebuah pertanyaan yang tidak akan ada
jawabnya, karena hal itu merupakan kenyataan yang demikian besar
mengguncang perasaan kita.

Dengan demikian menjadi jelas, bahwa dihadapan kita hanya ada satu dari
dua kemungkinan: menolak deklarasi universal HAM itu sebagai sesuatu
yang asing bagi Islam, seperti yang dilakukan Al-Maudoodi terhadap
Nasionalisme atau justru merubah diktum fiqh/Hukum Islam itu sendiri.
Sikap menolak, hanya akan berakibat seperti sikap burung onta yang
menolak kenyataan dan menghindarinya, dengan bersandar kepada lamunan
indah tentang keselamatan diri sendiri. Sikap seperti ini, hanya akan
berarti menyakiti diri sendiri dalam jangka panjang.

Dengan demikian, mau tak mau kita harus menemukan mekanisme untuk
merubah ketentuan fiqh/Hukum Islam, yang secara formal sudah
berabad-abad diikuti. Tetapi disinilah terletak kebesaran Islam, yang
secara sederhana menetapkan keimanan kita pada Allah dan utusan-Nya
sebagai sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi. Beserta beberapa Hukum
Muhkamat lainnya, kita harus memiliki keyakinan akan kebenaran hal itu.
Apabila yang demikian itu juga dapat diubah-ubah maka hilanglah
ke-islaman kita.

*****

Sebuah contoh menarik dalam hal ini adalah tentang budak sahaya
(slaves), yang justru banyak menghiasi Al-Qur’an dan Al-Hadits (tradisi
kenabian). Sekarang, perbudakan dan sejenisnya tidak lagi diakui oleh
bangsa muslim manapun, hingga secara tidak terasa ia hilang dari
perbendaharaan pemikiran kaum muslimin. Praktek-praktek perbudakan,
kalaupun masih ada, tidak diakui lagi oleh negeri muslim manapun dan
paling hanya dilakukan oleh kelompok-kelompok muslimin yang kecil tanpa
perlindungan negara. Dalam jangka tidak lama lagi, praktek semacam itu
akan hilang dengan sendirinya.

Nah, kita harus mampu melihat ufuk kejauhan, dalam hal ini mereka yang
mengalami konversi ke agama lain. Ini merupakan keharusan, kalau kita
ingin Islam dapat menjawab tantangan masa kini dan masa depan. Firman
Kitab Suci Al-qur’an, “tiadalah yang tetap dalam kehidupan kecuali wajah
Tuhan” (walam yabqa illa wajha Allah) menunjukkan hal itu dengan jelas.
Ketentuan Ushul Fiqh (Islamic Legal Theory) “hukum agama sepenuhnya
tergantung kepada sebab-sebabnya, baik ada ataupun tidak adanya hukum
itu sendiri” (yaduuru al-hukmu ma’a ‘illatihi wujudan wa ‘adaman) jelas
menunjuk kepada kemungkinan perubahan diktum seperti ini.

Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) telah melakukan antisipasi terhadap hal
ini. Dalam salah sebuah muktamarnya, NU telah mengambil keputusan
“perumusan hukum haruslah sesuai dengan prinsip-prinsip yang digunakan”.
Ambil contoh masalah Keluarga Berencana (KB), yang dahulu di larang
karena pembatasan kelahiran, yang menjadi hak reproduksi di tangan Allah
semata. Sekarang, karena pertimbangan biaya pendidikan yang semakin
tinggi membolehkan perencanaan keluarga, dengan tetap membiarkan hak
reproduksi di tangan Allah. Kalau diinginkan memperoleh anak lagi,
tinggal membuang kondom atau menjauhi obat-obat yang dapat mengatur
kelahiran. Jelaslah dengan demikian, bahwa Islam patut menjadi agama di
setiap masa dan tempat (yasluhu kulla zamanin wa makan). Indah bukan,
untuk mengetahui hal ini semasa kita masih hidup?

Paso, 23/5/2002
*Penulis adalah ketua umum dewan syura DPP PKB, di ‘copy paste’ dari http://wahidinstitute.blogspot.co.uk

Islam: Sebuah Ajaran Kemasyarakatan

Duta Masyarakat Baru, Oleh: Abdurrahman Wahid*

Charles Torrey menyatakan dalam disertasinya, kitab suci Al-Qur’an
sangat menarik bila dibandingkan dengan kitab suci agama lain. Kenapa ia
menyatakan demikian? Karena, seperti dikatakannya, kitab suci tersebut
menggunakan peristilahan profesional untuk menyatakan hal-hal yang
paling dalam dari lubuk hati manusia. Dengan demikian, Al-Qur’an
memberikan penghormatan yang sangat tinggi kepada profesi yang kita
anut. “Barang siapa mengikuti selain Islam sebagai agama maka amal
perbuatannya tidak akan diterima (menurut Islam) dan di akhirat kelak ia
akan merugi perdagangannya” (man yabtaghi ghaira al-Islam diinan falan
yuqbala minhu wahua fi al-akhirati min al-khasirin). Bukankah istilah
merugi, dalam dunia perdagangan merupakan istilah profesional, dalam hal
ini dipakai untuk menunjuk hal yang paling dalam di hati manusia, yaitu
tidak memperoleh pahala?

Istilah-istilah lain dari dunia profesi juga dipakai dalam pengertian
yang sama oleh kitab suci tersebut. Barang siapa memberi pinjaman kepada
Allah dengan pinjaman yang baik, maka Ia akan melipatgandakan
imbalannya” (man yuqridhillaa qardhan hasanan fayudha’ifahu), jelas
menunjuk kepada perolehan pahala, dan bukannya pengembalian kredit
seperti di bumi. Hal inilah yang harus kita mengerti, jika diinginkan
pemahaman lengkap terhadap kitab suci tersebut: kitab suci itu bukanlah
dokumen politik, melainkan sebuah penggambaran kehidupan yang lengkap,
termasuk pemahaman sejarah masa lampau.

Ketika Allah berfirman: “barang siapa menginginkan panenan di akhirat
kelak, akan Ku-tambahi panenannya” (man kaana yuriidu harth al-akhirati
nazid lalu fi harthihi), yang lagi-lagi berbicara tentang pahala di
akhirat bagi perbuatan kita di dunia ini. Bahwa istilah-istilah
perdagangan dan pertanian digunakan untuk keinginan manusia memperoleh
pahala bagi amal perbuatannya, merupakan penghargaan yang sangat tinggi
atas profesi seseorang.

*****

Dalam sebuah ayat suci Al-Qur’an dinyatakan: “orang-orang yang berpegang
pada janji mereka, di kala menyampaikan prasetia” (wa al-mufuuna bi
‘ahdihim idza ‘aahadu) jelas menunjuk kepada profesionalisme seperti
itu. Bukankah manusia paling mengutamakan janji profesi ketika
mengucapkan prasetia? Dikombinasikan dengan pengamatan Torrey di atas
jelaslah bahwa Islam memberikan penghargaan sangat tinggi kepada
profesi. Hal inilah yang justru hilang dari kehidupan kaum muslimin
dalam beberapa abad yang silam, karena memberikan tempat terlalu banyak
kepada kaum penguasa, serta kebijakan-kebijakan dan tindakan-tindakan
mereka, alias pemberian perhatian terlalu besar porsinya kepada aspek
politik dalam diri kehidupan bangsa-bangsa muslim.

Sebagai akibat, perhatian atas masalah-masalah profesional ternyata
kurang besar, dan dengan sendirinya pemikiran ke arah itupun menjadi
sangat kecil. Pada saat yang sama, banga-bangsa Barat telah mencurahkan
perhatiannya yang sangat besar kepada masalah-masalah profesi. Dengan
sendirinya, pertautan antara Islam sebagai ajaran dan profesi sebagai
penerapan ajaran-ajaran tersebut, menjadi tidak bersambung satu sama
lain. Ini mengakibatkan ketertinggalan sangat besar dalam pemahaman
Islam sebagai agama kehidupan di kalangan para pemeluknya. Karenanya,
diperlukan sebuah keberanian moral untuk merambah jalan baru bagi sebuah
penafsiran, yang tidak lain adalah sebuah pendekatan profesional.
Kita ambil sebuah firman dalam kitab suci Al-Qur’an: “jika kalian di
sapa dengan sapaan yang baik, maka sapalah dengan ungkapan yang lebih
baik lagi” (wa idza huyyitum bitahiyyatin fa hayyu bi ahsana minha),
jelas-jelas memerlukan pendekatan profesional, katakanlah bagi seorang
produsen barang. Artinya, kalau barang produksi anda dipuji orang lain,
maka tingkatkanlah mutu produksi barang itu sebagai jawaban atas
pernyataan baik yang diucapkan. Hanya dengan cara itulah seorang muslim
dapat membuat interpretasi atas perbuatan-perbuatan kita di dunia ini.

*****

Kalau hal ini kita renungkan secara mendalam, jelas bahwa Islam
memperlakukan kehidupan sebagaimana mestinya. Sebuah pemahaman yang
benar akan menunjuk kepada kenyataan bahwa Islam bukanlah agama politik
semata. Bahkan dapat dikatakan bahwa porsi politik dalam ajaran Islam
sangatlah kecil, itupun terkait langsung dengan kepentingan orang
banyak, yang berarti kepentingan rakyat kebanyakan (kelas bawah di
masyarakat). Kalau hal ini tidak disadari, maka politik akan menjadi
panglima bagi gerakan-gerakan Islam dan terkait dengan institusi yang
bernama kekuasaan.

Bukankah ini bertentangan dengan firman Allah dalam kitab suci
Al-Qur’an: “apa yang diberikan Allah kepada utusan-Nya sebagai pungutan
fai’ dari kaum non-muslim (sekitar Madinah), hanya bagi Allah,
Utusan-Nya, sanak keluarga terdekat, anak-anak yatim, kaum miskin dan
pejalan kaki untuk menuntut ilmu dan beribadat, agar supaya harta yang
terkumpul tidak hanya beredar di kalangan kaum kaya saja di lingkungan
kalian” (maa afaa Allahu min ahli al-Qurra fa lillahi wa rasulihi wa
lidzi al-qurba wa al-yatama wa al-masaakini wa ibni al-sabil, kaila
yakuuna duulatan baina al-aghniya’ minkum). Bukankah Islam mementingkan
fungsi pertolongan kepada kaum miskin dan menderita, dan tidak
memberikan perhatian khusus tentang bentuk negara yang diinginkan?
Ini tentu berarti Islam lebih mementingkan pendekatan profesional, dan
bukannya pendekatan politis dalam memandang sesuatu persoalan. Kalau
saja ini dimengerti dengan baik, akan menjadi jelaslah mengapa Islam
lebih mementingkan masyarakat adil dan makmur, dengan kata lain
masyarakat sejahtera, yang lebih diutamakan kitab suci tersebut dari
pada masalah bentuk negara. Kalaulah hal ini disadari sepenuhnya oleh
kaum muslimin, tentulah salah satu sumber keruwetan dalam hubungan
antara sesama umat Islam dapat dihindarkan. Artinya, ketidakmampuan
dalam memahami hal inilah, yang menjadi sebab kemelut luar biasa dalam
lingkungan gerakan Islam dewasa ini.

Paso, 24/5/2002
*Penulis adalah ketua umum dewan syura DPP PKB, di ‘copy paste’ dari http://wahidinstitute.blogspot.co.uk

Islam Dan McLuhan Di Surabaya

Memorandum, Oleh: Abdurrahman Wahid*

Penulis diundang oleh harian ini untuk memberikan ceramah maulid Nabi
Muhammad saw, beberapa waktu yang lalu, yang di hadiri ribuan massa,
diantaranya para habaib yang datang dari berbagai penjuru Jawa Timur.
Penulis sendiri disertai Prof. Dr. Mona Abaza dari Mesir, Maria Pakpahan
dan dr. Sugiat (DPP PKB Jakarta). H. Moh. Aqiel Ali, selaku pemimpin
umum harian ini, menyatakan peredaran opplaag harian tersebut kini sudah
mencapai 120 ribu exemplar per hari, yang menjadikannya koran besar
dengan pembaca yang rata di Jawa Timur.

Maksud penulis mengajak Prof. Dr. Mona Abaza dan Maria Pakpahan
tercapai, ketika digelar pembacaan shalawat Nabi dari Habib Al-Haddad
dan sajak burdah dari Imam Al-Busyairi, sesuatu yang belum pernah mereka
saksikan. Ketika memberikan ceramah, penulis mempertanyakan adakah para
peraga kedua jenis peragaan agama itu berlatih atas kehendak sendiri
sepanjang tahun, ataukah ada yang membiayai? Jawaban gemuruh tidak,
berarti mereka tidak pernah mengkaitkan latihan sepanjang tahun dari
pembiayaan acara. Dengan kata lain, mereka berlatih atas inisiatif
sendiri dan dibiayai oleh keinginan keras mengabdi pada agama.

Inisiatif sendiri tanpa ada yang menyuruh inilah yang oleh George
McLuhan, seorang pakar komunikasi, sebagai “happening” (kejadian).
Dicontohkan penulis dalam ceramah itu –seperti yang terjadi di Masjid
Raya Pasuruhan, setiap tahun dua kali. Para pemain rebana datang dari
seluruh penjuru Jawa Timur, setiap kelompok bermain sekitar 5-10 menit.
Mereka datang sendiri dengan menyewa truk, memakai pakaian dan tanda
pengenal serta makanan sendiri. Begitu juga kendaraan yang mereka pakai,
umumnya truk, disewa sendiri oleh tiap kelompok.

*****

Apa yang disebutkan sebagai happening oleh McLuhan itu, juga terjadi
pada acara haul/peringatan upacara kematian Sunan Bonang di Tuban. Acara
itu tidak memerlukan undangan dari panitia, kecuali hanya berupa
pemberitahuan yang sangat terbatas, tidak lebih dari 300 orang saja,
untuk mereka yang disediakan tempat duduk. Sedangkan untuk puluhan ribu
pengunjung lainnya, mereka membawa sendiri tikar/koran bekas sebagai
alas duduk serta botol air untuk mereka minum sendiri, tanpa mendapat
undangan untuk hadir. Selama 43 tahun, muballigh kondang alm. KH. Yasin
Yusuf dari Blitar, berpidato dalam acara haul tersebut, tanpa
mendapatkan undangan dari panitia. Yang penting, ia dan rakyat
pengunjung tahu hari dan tanggal acara haul tersebut, dan mereka datang
atas dasar kesadaran mereka sendiri.

Ternyata, dalam hal-hal yang terjadi tanpa disiapkan matang-matang
terlebih dahulu, pengamatan George McLuhan itu terjadi. Happening itu
terdapat di seluruh dunia dalam bentuk dan ragam yang beraneka warna.
Apakah implikasi dari hal tersebut? Mudah saja pertanyaan itu untuk
dapat dijawab: selama hal-hal itu dapat dianggap membawa berkah Tuhan,
dan hal itu dibuktikan oleh hal-hal di atas, maka selama itu pula
kesuka-relaan akan menjadi pendorongnya. Ini terjadi, dalam banyak
bidang kehidupan yang memperagakan kekayaan kultural suatu kelompok,
tanpa ada yang dapat melarangnya.

Dengan kata lain, kesuka-relaan atas dasar keagamaan itu, adalah sesuatu
yang menghidupi masyarakat kita. Apa yang tidak diuraikan penulis dalam
acara peringatan maulid Nabi saw itu, karena keterbatasan waktu, adalah
keharusan bagi kita untuk menerapkan secara lebih luas prinsip
kesuka-relaan di atas. Terutama dalam kehidupan politik kita, perlu
dipikirkan adanya sebuah sistem politik yang sesuai dengan ajaran agama
tentang keikhlasan, kejujuran/ketulusan dan keterbukaan. Menjadi nyata
bagi kita, bahwa bentukan sebuah sistem politik yang memiliki kandungan
sangat beragam, benar-benar diperlukan saat ini.

Jelaslah bahwa, aspek kesuka-relaan dan keterbukaan sistem politik itu
sangat diperlukan dalam sikap dan lanscape kehidupan kita sebagai
bangsa. Sementara itu, happening sebagaimana yang diajarkan McLuhan itu
ternyata memiliki arti yang mendalam bagi peneropongan akan fungsi
ajaran agama tersebut. Pengingkaran terhadap kesuka-relaan di bidang
politik, hanya akan menghasilkan sistem politik yang memungkinkan
seseorang berbohong kepada rakyat.

Jakarta, 13/6/2002
*Penulis adalah ketua dewan syura DPP PKB, di ‘copy paste’ dari http://wahidinstitute.blogspot.co.uk

Islam Dan Fungsi Keadilan

Duta Masyarakat Baru, Oleh: Abdurrahman Wahid*

Dalam tulisan-tulisan terdahulu, tampak jelas bahwa Islam tidak
mementingkan bentuk kelembagaan, melainkan fungsi-fungsi lembaga. Karena
itu, Islam tidak mengenal konsep tentang negara, melainkan tentang
fungsi-fungsi negara. Dengan demikian, sebuah konsep negara bangsa
(nation-state) menjadi sama nilainya dengan negara Islam. Pentingnya
fungsi tersebut, akan dibicarakan dalam tulisan ini. Karenanya, prinsip
pentingnya fungsi harus sudah dimiliki ketika membahas tulisan ini.

Sikap ini, tidak berarti Islam memusuhi konsep negara agama, termasuk
konsep tentang Negara Islam, melainkan hanya menunjukkan betapa bentuk
negara bukanlah sesuatu yang esensial dalam pandangan Islam, karena
segala sumber-sumber tekstual (adillah naqliyah) tidak pernah
membicarakan bentuk-bentuk negara. Yang selalu dibicarakan adalah
berbagai fungsi dari sebuah negara, dan ini mengaharuskan kita untuk
membuat telaahan secara mendalam mengenai konsep Negara Islam tersebut.

Tanpa telaahan yang mendalam, kita akan bertindak gegabah dan bersikap
emosional dalam menyusun konsep tersebut. Hal ini nyata-nyata
bertentangan dengan petunjuk tekstual itu sendiri. Kitab suci Al-qur’an
telah berfirman: “bertanyalah kepada yang mengerti, jika kalian tidak
mengetahui masalah yang dibicarakan” (fa al-as’aluu ahla al-dzikri in
kuntum laa ta’lamuun).

Sikap ini, harus di ambil dan dimiliki kaum muslimin, jika mereka ingin
menegakkan agama dan menjunjung tinggi ajaran-ajaran-Nya. Sikap
emosional itu sendiri, dalam jangka panjang akan sangat merugikan,
sedangkan dalam jangka pendek akan menambah keruwetan dalam perjuangan
kaum muslimin sendiri. Ini bukan berarti penulis menentang gagasan
adanya partai Islam, bahkan menegaskan bahwa parai-partai tersebut harus
membuat telaahan tentang Negara Islam, hingga gagasan tersebut
benar-benar dapat diterima oleh akal yang sehat dan oleh hati nurani
kita sendiri. Hanya dengan sikap seperti itulah, perjuangan kaum
muslimin akan membawa hasil yang diharapkan, dan mampu membawa kaum
muslimin tersebut kepada pemenuhan tujuan yang diharapkan: “negara yang
baik, penuh dengan pengampunan Tuhan” (baldatun tayyibatun wa rabbun
ghafur).

*****

Salah satu fungsi negara dalam pandangan Islam, adalah menegakkan
keadilan. Firman Allah dalam kitab suci Al-qur’an berbunyi; “wahai
orang-orang yang beriman, tegakkah keadilan dan jadilah saksi bagi
Allah, walaupun mengenai diri kalian sendiri” (yaa ayyuha al-ladzina
amanuu kuunu qawwamiina bi al-qishti syuhada’a lillahi walau ‘ala
anfusikum). Jelas di sini, yang diminta adalah fungsi keadilan, bukannya
bentuk penyelenggaraan keadilan oleh negara.

Jelas dari ayat ini, Islam lebih mementingkan penyelenggaraan keadilan,
dan bukan bentuknya. Adakah keadilan itu mengambil bentuk ditetapkannya
hukuman-hukuman pidana, ataukah berupa tender yang independen dan bebas
dari permainan orang dalam (insider’s trading), tidaklah menjadi
persoalan benar. Yang terpenting adalah berfungsinya keadilan dalam
kehidupan sehari-hari. Ini yang harus dipegangi oleh umat Islam dalam
menegakkan negara, jika diinginkan kesejahteraan bersama dapat diraih
oleh seluruh warga bangsa.

Walaupun agak menyimpang dari pembahasan pokok ayat ini, dapat
dikemukakan pendapat Al-‘athmawi, mantan ketua Mahkamah Agung (MA)
Mesir, bahwa Hukum Pidana Islam mengenal prinsip menghindari dan
menghukum (deterrence and punishment) terhadap/atas
pelanggaran-pelanggaran pidana yang terjadi, karenanya setiap hukum yang
memuat pinsip ini, termasauk hukum Pidana Barat (Napoleonic Criminal
Law) yang berlaku di Mesir saat ini, sudah berarti melaksanakan hukum
Pidana Islam tersebut. Memang, terjadi perdebatan sengit tentang
pendapat Al-‘athmawi tersebut, tetapi penjelasan di atas menunjukkan
besarnya kemungkinan yang dikandung oleh firman Allah di atas dalam
penyelenggaraan negara yang sesauai dengan prinsip-prinsip Islam.

Dengan demikian, menjadi jelas bahwa dalam penyelenggaraan kehidupan
bernegara, yang terpenting adalah bagaimana keadilan itu dapat
diwujudkan, bukannya bentuk negara yang diinginkan. Maka, jelaslah Islam
lebih mementingkan fungsi dan bukan bentuk negara, suatu hal yang sering
kita lupakan. Karenannya, pembahasan kita selanjutnya lebih baik
ditekankan pada fungsi penyelenggaraan pemerintahan dari pada bentuk
negara yang diinginkan.

*****

Strategi yang demikian sederhana, ternyata tidak dimengerti banyak
orang. Apakah sebabnya? Karena orang lebih mementingkan formalitas
sesuatu dari pada fungsinya. Tetapi, Islam juga mempunyai formalitas
lain, yaitu pentingnya permusyawaratan/rembugan. Kitab suci Al-qur’an
menyatakan; “dan persoalan mereka haruslah di musyawarahkan oleh mereka
sendiri” (wa amruhum syura bainahum), berarti secara formal Islam
mengharuskan adanya demokrasi. Dalam sistem demokratik yang sebenarnya,
suara penduduk yang memilih (voter’s voice) yang menentukan, dalam
adagium bahasa latin disebutkan “vox populi vox dei” (suara rakyat
adalah suara Tuhan), jelas menunjukkan betapa penting arti demokrasi
bagi Islam. Kalau rakyat memilih bukan partai Islam yang memerintah,
dengan sendirinya formalitas keadilan juga ikut terkena.

Dalam hal demikian, maka partai-partai Islam dan kaum muslimin haruslah
menggunakan prinsip-prinsip yang terkandung dalam ajaran Islam, bukannya
bentuk lahiriyyah. Dari pembahasan singkat tentang fungsi keadilan yang
harus terwujud dalam pemerintahan sebuah negara, menjadi nyata bagi kita
bahwa mereka yang tidak menginginkan Negara Islam, tetapi menuntut
pelaksanaan keadilan yang nyata dalam kehidupan, berarti telah
melaksanakan ajaran Islam. Karena itu, kita harus mementingkan arti
penyelenggaraan keadilan dalam kehidupan kita, sebagai amanat yang harus
kita perjuangkan habis-habisan. Justru mereka yang mementingkan
formalitas Hukum Islam tetapi melupakan penyelenggaraan keadilan ini,
harus dipertanyakan sudah memperjuangkan ajaran Islam-kah atau belum?
Sederhana bukan?

Jakarta, 1/6/2002
*Penulis adalah ketua dewan syura DPP PKB, di ‘copy paste’ dari http://wahidinstitute.blogspot.co.uk

Islam: Agama Populer Ataukah Elitis?

Kompas, Oleh: Abdurrahman Wahid*

Pada tahun-tahun 50-an dan 60-an, di Mesir terjadi perdebatan sengit
tentang bahasa dan sastra arab, antara para eksponen modernisasi dan
eksponen tradisionalisasi. Dr. Thoha Husein, salah seorang tuna netra
yang pernah menjabat menteri pendidikan dan pengajaran serta pelopor
modernisasi, menganggap bahasa dan sastra arab harus mengalami
modernisasi, jika diinginkan ia dapat menjadi wahana bagi
perubahan-perubahan sosial di jaman modern ini. Ia menganggap bahasa dan
sastra arab yang digunakan secara klise oleh sajak-sajak puja (al-madh)
seperti bahasa yang digunakan dalam dziba’iyyah dan al-barzanji sebagai
dekadensi bahasa yang justru akan memperkuat tradisionalisme dan
menentang pembaharuan. Dari pendapat ini dan dari tangan Dr. Thoha
Husein, lahirlah para pembaharu sastra dan bahasa arab yang kita kenal
sekarang ini.

Nama-nama terkenal seperti Syauqi Dhaif dan Suhair Al-Qalamawi muncul
sebagai bintang-bintang gemerlapan dalam perbincangan mengenai
pembaharuan bahasa dan sastra arab. Sejak masa itu, munculah madzhab
baru bahasa arab, yang dirasakan oleh mereka sebagai pendorong dinamika
dan perubahan sosial. Bahasa dan sastra arab dari masa lampau, yang
lebih berbau agama dikesampingkan oleh kebangkitan kembali bahasa dan
sastra arab masa pra-Islam (‘asr al-jahiliyah).

Dalam pandangan ini, produk-produk dekaden harus dikesampingkan, guna
memberi jalan kepada proses modernisasi bahasa dan sastra arab. Ini
merupakan reaksi terhadap paham serba agama yang merajai Timur Tengah
sebelum itu. Sejalan dengaan tumbuhnya nasionalisme arab (al-qawmiyyah
al-arabiyyah, yang kala itu menjadi pikiran dominan di kalangan para
pemikir arab. Dengan demikian, tradisionalisme yang dibawakan agama,
dianggap sebagai penghalang bagi munculnya kecenderungan baru tersebut.
Karena sifatnya yang intelektual, pandangan ini tidak langsung diikuti
oleh rakyat kebanyakan. Halnya menjadi pemikiran elitis dari kaum
cendekiawan di negeri-negeri arab selama dua puluh lima tahun.

*****

Di negeri kita, kemunculan kelompok nasionalis itu juga berkembang,
namun tidak dengan sikap memandang rendah tradisionalisme yang dibawakan
oleh agama. Namun ada persamaan, antara pandangan elitis
anti-tradisionalisme bahasa dan sastra arab di kalangan banga-bangsa
arab, dan elitisme kaum cendekiawan yang tidak menyentuh pikiran-pikiran
rakyat awam di negeri tersebut. Dengan demikian, agama dengan
tradisionalisme-nya tidak dipersalahkan jika menghambat kemajuan.
Mungkin ini disebabkan oleh kekuatan politik organisasi tradisional
agama, seperti NU. Tradisionalisme agama yang dibawakannya justru
menyatu dengan kaum nasionalis, karena kedua-duanya harus berhadapan
dengan modernisme non-idiologis yang datang dari barat, dalam berbagai
bentuk. Yang terpenting diantaranya adalah pragmatisme yang dibawakan
oleh paham tehnokrasi, yang dipermukaan berarti penyerahan diri secara
total kepada sistem nilai yang dimiliki orang-orang barat.

Modernisasi dianggap sebagai pengikisan tradisionalisme agama dan rasa
kebangsaan kaum nasionalis. Tidak heran, jika yang muncul dipermukaan
adalah manifestasi tradisionalisme agama itu sendiri. Digabungkan dengan
semangat nasionalisme yang mengagungkan kejayaan masa lampau, kedua
kecenderungan itu menampilkan tradisionalismenya sendiri: anti-barat,
anti penuhnya rasionalisme dan penghormatan berlebihan kepada masa
lampau. Kalau hal ini diingat benar, dengan sendirinya kita lalu dapat
melihat kedangkalan pendekatan tradisional tersebut, dan mengembalikan
pertimbangan-pertimbangan rasio ke tempatnya semula.

Manifestasi budaya dari munculnya kembali tradisionalisme agama itu,
seperti terlihat dalam blantika musik kita dewasa ini. Musik arab
tradisional dengan enam belas birama (bahr, pluralnya buhur) seperti
yang ada dalam sajak-sajak arab tradisional yang hampir seluruhnya di
dominasi sajak-sajak keagamaan, muncul sebagai “wakil agama” dalam
blantika musik kita dewasa ini. Pembaharuan bahasa dan sastra nasional,
yang dirintis Sutan Takdir Ali Syahbana tidak sampai menyentuh akar
tradisionalisme agama itu dan sebagai akibatnya kita melihat sebuah
penampilan yang lucu: bahasa dan sastra nasional yang diperbaharui dan
berwatak kontemporer dan –pada saat yang sama, menampilkan
tradisionalisme agama

*****

Dengan memperhatikan kenyataan di atas, kita sampai kepada sebuah
pertanyaan yang fundamental: haruskah kehidupan beragama kita
semata-semata berwatak tradisional dan adakah penggunaan rasio dalam
menyegarkan kembali tradisionalisme agama itu dianggap sebagai “bahaya”?
Pertanyaan ini patut dipikirkan jawabannya secara mendalam, karena
percampuran antara semangat kebangsaan kaum nasionalis dan
tradisionalisme agama hanya membawa hasil positif di bidang politik
belaka, bukannya di bidang budaya dan bahasa. Tradisionalisme agama
tidak menyukai idiologi-agama dalam kehidupan bernegara, seperti
terbukti dari penolakan atas Piagam Jakarta.

Kehidupan beragama kita, yang dengan sendirinya membawakan aspek
kebudayaan dalam kebudayaan kita, bagaimanapun juga haruslah berwatak
rasional. Apa yang dikemukakan A.A. Navis dalam cerpen “Robohnya Surau
Kami” adalah rasionalitas kehidupan beragama yang kita perlukan,
bukannya sesuatu yang harus ditakuti. Ini tidak berarti memandang rendah
tradisionalisme agama, karena elemen-elemen positif dan rasional dari
tradisionalisme itu sendiri harus kita teruskan. Tetapi unsur-unsur
irrasional yang akan menghambat pem-fungsi-an tradisionalisme itu
sendiri haruslah diganti dengan nilai-nilai rasional yang akan menjamin
kelangsungan tradisionalisme agama itu sendiri. Sama halnya dengan
kontra-reformasi yang dijalani oleh gereja Katholik Roma, yang
diperlukan untuk menjamin kelangsungan hidup tradisionalisme agamanya.
Penggunaan gamelan di satu sisi –misalnya, dan musik hardrock serta rap
di sisi lain, sama-sama rasionalnya dalam penyampaian pesan-pesan
gerejawi melalui misa dan sebagainya.

Dengan demikian, revitalisasi tradisionalisme agama sangat diperlukan,
dalam bentuk memasukkan unsur-unsur rasional ke dalamnya, hingga
tradisionalisme agama itu sendiri dapat dirasakan sebagai kebutuhan baik
di kalangan elitis yang diwakili para cendekiawan, maupun rakyat jelata
yang mengembangkan tradisionalisme agama populis. Di sinilah terletak
tantangan yang dihadapi Islam di negeri kita, dengan penduduk muslimnya
yang berjumlah lebih dari 170 juta jiwa. Masalahnya sekarang, bagaimana
mengembangkan modernisme agama dan tradisionalisme agama yang serba
rasional, dan menghindarkan agar keduanya tidak bertubrukan secara
praktis. Dapatkah kaum muslimin di negeri ini mencapai hal itu?

Jakarta, 2/6/2002
*Penulis adalah ketua dewan syura DPP PKB, di ‘copy paste’ dari http://wahidinstitute.blogspot.co.uk

Islam Budaya dan Teknologi

Oleh: KH. Abdurrahman Wahid

PADA suatu pagi, penulis duduk di kursi depan kendaraan yang dinaikinya. Suara dari kaset terdengar memenuhi kabin kendaraan, mengalunkan bermacam shalawat yang didendangkan anak-anak dengan dipimpin seorang dewasa. Berbagai shalawat didendangkan, termasuk shalawat/pujian semasa menunggu datangyan imam di masjid/musala. Dibawakan versi lengkap dari pujian “Illahi Lastu” yang biasanya hanya diperdengarkan dua baris/bait bahasa Arab saja. Kira-kira dua jam berkendara dari tempat tinggal penulis di jalan Paso ke Hotel Marriott guna melakukan doa bersama dengan sejumlah kiai dan para agamawan lain. Dalam mendengarkan kaset shalawat dan pujian, penulis lagi-lagi dihadapkan kepada sebuah gambaran tentang masyarakat kita dewasa ini, yaitu antara dendang tradisional tapi menggunakan alat-alat sound system yang sangat canggih.

Yang penulis maksudkan adalah penggunaan teknologi canggih berarti tekonologi modern oleh pergelaran tradisional. Ini adalah kenyataan di depan mata yang tidak dapat diingkari walaupun jarang dipikirkan. Ternyata tidak seperti yang para peneliti dan pemerhati sering kemukakan mengenai adanya pertentangan teknologi modern dengan budaya tradisional. Dalam kenyataan, walaupun teknologi modern dalam banyak hal memaksakan sikap dengan meninggalkan hal-hal tradisional, dalam
beberapa aspek kehidupan justru yang tradisional itu diperkuat oleh yang modern. Jadi dalam hal ini terdapat hubungan simetris, tidak seperti apa yang dikemukakan oleh Daniel Leaner dari Universitas Harvard dalam bukunya yang berjudul “The Passing of the Tradisional Society” (Memudarnya Masyarakat Tradisional).

Bukankah yang terjadi di beberapa tempat justru sebaliknya? Justru proses bertemunya teknologi modern dan budaya tradisional menghasilkan “penyimpangan” berupa penggunaan teknologi modern itu sendiri guna kepentingan memperkuat tradisionalisme. Kaset yang penulis dengarkan dalam kendaraan tersebut adalah bukti konkret yang tidak dapat dibantah oleh siapa pun. Ini adalah sebuah wajah dari sekian banyak bentuk penguatan tradisi, seperti dicontohkan oleh pengeras suara di masjid-masjid dan musala kita, yang masih mengumandangkan Tarhim, ayat-ayat suci dan Adzan minimal lima kali sehari. Memang rumah-rumah di sekitarnya lalu turun harganya, tetapi itu tidak menghalangi terjadinya penggunaan teknologi modern untuk penguatan tradisionalisme, di samping memang tradisionalisme dalam berbagai bidang mengalami modifikasi oleh teknologi modern.

*****

Hal ini sebenarnya terjadi juga dalam “masyarakat modern” yang berteknologi maju. Di Eropa Barat, misalnya, beberapa negara mengalami kebangkitan kembali pihak Kristen Demokrat dalam politik. Apakah artinya ini? Jawabannya adalah bahwa nilai-nilai ke-Kristenan yang sangat tradisional yang mengacu kepada moralitas bangsa, akhirnya menjadi pembeda dengan partai-partai Demokrat lain di berbagai negara. “Kebangkitan kembali” kaum Nasrani ini tentu saja diakibatkan oleh porak-porandanya tatanan yang dibangun baik oleh “keangkaramurkaan” ambisi politik pribadi seperti dibawakan oleh Adolf Hitler di Jerman dan Mussolini di Italia serta Josef Stalin di Uni Soviet, serta sekularisme yang menjauhkan agama di beberapa negara. Di Amerika Serikat sendiri kehidupan politik sedikit banyak terpengaruh oleh semakin menguatnya kesadaran beragama, minimal dalam bentuk munculnya
kelompok Baptisme Selatan (Southern Baptist Convention). Dan ini juga terlihat dalam terpilihnya beberapa orang Presiden Amerika Serikat dan sepertiga jumlah anggota Kongres (Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat), yang merupakan anggota Gereja Mormon.

Bertambahnya “peranan agama” atau kebangkitan moralitas konvensional dalam kehidupan politik negara Paman Sam itu, tentunya berhadapan dengan sikap yang meremehkan kesadaran beragama. Sikap menolak keabsahan aborsi/pengguguran kandungan (right to live), adalah pencerminan moralitas konvensional ini. Ini tentu saja berkebalikan dengan kecenderungan lain, seperti keabsahan perkawinan antara kaum homosex —lesbi dan gay— yang terjadi di beberapa negara lain. Dalam kasus seperti itu, lembaga-lembaga keagamaan seperti gereja menampilkan pengunaan “alat-alat modern” untuk menampilkan sesuatu dari hal yang tradisional.

Jelas dari uraian di atas baik dalam masyarakat “Timur” maupun “Barat” telah terjadi sebuah proses dahsyat berupa pertarungan budaya, minimal dalam kehidupan moralitas, yang melibatkan penggunaan alat-alat komunikasi dan organisasi modern dan canggih, untuk menangkis ketakutan-ketakutan tradisional yang menilai jika hal itu dibiarkan saja tanpa pelawanan maka moralitas kehidupan bangsa akan merosot.

*****

Jadi tidak mengherankan jika teknologi modern itu digunakan dalam “pertempuran budaya” di sementara masyarakat. Tidak mengherankan juga jika tradisionalisme semacam itu juga muncul dalam “kesadaran beragama” yang menampilkan upaya untuk “kembali ke masa silam”, dan terjadi dalam masyarakat kita dewasa ini Sebetulnya hal itu telah terjadi ketika ada imbauan dari orang-orang seperti Moch. Yamin ataupun Sanusi Pane untuk “kembali kepada kejayaan bangsa di masa lampau.” Mereka bukannya “orang kolot” yang mengingkari teknologi modern, melainkan mereka justru menggunakannya untuk memperkuat tradisionalisme yang mereka miliki. Hakikat inilah yang harus ditangkap dari sikap mereka itu.

Inilah yang penulis tangkap dari keadaan lahiriah ketika mendengarkan melalui sound system lagu-lagu tradisional yang berupa shalawatan dan sebagainya. Dia dapat saja mengharukan seperti dalam sajak penyambutan Nabi Muhammad SAW di Madinah dengan “bulan naik di atas (Kepala) kita” (Thala’at Al-Badru’Alayina), dan dapat saja berupa tembang anak-anak Sunan Ampel, “Ilir-Ilir Tandure wis Sumiler” yang sangat terkenal di kalangan orang-orang berbahasa Jawa. Jadi penggunaan teknologi modern yang digunakan untuk menegaskan pemikiran-pemikiran tradisional bukanlah barang baru sama sekali, melainkan sudah lama berjalan. Gampang diucapkan tetapi sulit dilaksanakan, bukan?

Jakarta, 19 Agustus 2003

Penulis adalah anggota Nahdlatul Ulama., di ‘copy paste’ dari milis KOMMIT