Islam: Apakah Bentuk Perlawanannya?

Kompas, Oleh: Abdurrahman Wahid*

Pada pertengahan bulan Mei 2002, penulis menyampaikan penilaiannya atas
diri KHA. Mutamakin dalam sebuah seminar yang berlangsung di IAIN Syarif
Hidayatullah, Ciputat. Pendapat itu dikemukakan dalam seminar untuk
menyambut terbitnya sebuah buku tentang diri beliau, yang memang
benar-benar merupakan karya berbobot ilmiyah dan melihat peranan beliau
dari berbagai sudut pandangan. Baik dari aspek epistimologis,
kesejarahan maupun aspek sosiologis. Karya tersebut merupakan sebuah
penanganan serius yang harus diteruskan oleh para peneliti lainnya.

Dalam seminar itu, penulis mengemukakan sebuah sudut pandang yang sama
sekali baru dalam menilai dan memahami tokoh KHA. Mutamakin yang wafat
pada abad ke 18 Masehi dan dimakamkan di desa Kajen, Margoyoso, Pati.
Diantara keturunannya yang masih aktif dalam kehidupan masyarakat adalah
Ra’is ‘Am NU, KH. A. M. Sahal Mahfudz dan diri penulis sendiri. Salah
satu sesepuh keluarga dan keturunan beliau, dengan pengaruh sangat besar
semasa hidup adalah KH. Abdullah Salam yang meninggal dunia tahun lalu
dan dimakamkan di desa tersebut. Sebagai penghafal al-Qur’an beliau
memimpin sebuah pesantren di desa tersebut dan mengembangkan asketisme
yang sangat mengagumkan, dalam bahasa pesantren dikenal dengan istilah
akhlakul karimah.

Dalam menilik riwayat KHA. Mutamakin itu penulis juga menggunakan Serat
Cebolek yang diterbitkan Keraton Amangkurat IV dan Pakubuwono II di
Surakarta, yang dibahas oleh disertasi Dr. Soebardi; juga ceritera
ketoprak dan ceritera-ceritera lain, di samping berbagai tulisan kaum
pesantren tentang beliau dan terutama tulisan-tulisan beliau sendiri.
Yang tidak sempat penulis gunakan, adalah tulisan Dr. Kuntowidjoyo dari
Universitas Gadjah Mada (UGM) tentang KH. Rifa’i, Batang, yang
menggunakan referensi Serat Cebolek dan sebuah buku tentang beliau yang
diterbitkan oleh LkiS, di Yogyakarta, tulisan (kini) Pejabat sementara
(Pjs) Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo di Semarang.

*****

Penulis berpendapat, KHA. Mutamakin telah memelopori sebuah pendekatan
baru dalam hubungan antara Islam dan kekuasaan negara pada abad ke 18
Masehi, yang memerlukan penelitihan mendalam dari kita, untuk memahami
strategi perjuangan Islam di masa lampau, saat ini maupun masa depan.
Tilikan mendalam ini diperlukan guna memungkinkan kita untuk menemukan
strategi perjuangan Islam yang tepat di negeri ini.

Perjuangan umat Islam dalam abad ke 18 Masehi itu, pada intinya berupa
sikap pro/menunjang pemerintah, dan sikap menentangnya. Kaum
syari’at/fiqh (Hukum Islam) pada umumnya bersikap mendukung kekuasaan,
mungkin atas dasar adagium yang terkenal: “pemimpin lalim untuk 60 tahun
memerintah, masih lebih baik dari pada anarkhi sesaat” (Imaamun Faajirun
li sittiina ‘Amman khairun min faudha saa’atin). Sikap ini merupakan
sebuah kenyataan tidak adanya kontrol atas jalannya pemerintahan,
semuanya tergantung pada kehendak sang penguasa. Para pelanggar hukum,
termasuk pelanggar fiqh/Hukum Islam terkena sangsi atau tidak secara
legal seluruhnya tergantung sang penguasa. Kaum fiqh itu menetapkan KHA.
Mutamakin harus dihukum, karena memasang lukisan binatang secara utuh,
dan sering menonton wayang dengan lakon Bima Suci/Dewa Ruci. Dengan
menonton pagelaran wayang berlakon Dewa Ruci itu, ia telah melanggar
syari’ah dan harus dihukum. Tetapi hukuman itu terserah pada sultan
sebagai penguasa.

Sebaliknya, para pemimpin tarekat bersikap menentang penguasa, dan
tasawwuf merupakan pemicu pemberontakan di beberapa tempat dalam abad
tersebut. Dalam pandangan ini, penguasa dianggap menyimpang dari
kebenaran formal agama, karena itu haruslah dilawan secara terbuka.
Sikap ini, sebenarnya sama-sama bersifat politis, bila dibandingkan
dengan sikap di atas. Hanya saja, jika yang satu menentang maka yang
lain mendukung. Sikap politis inilah yang membuat penguasa waktu itu
banyak menghukum mati dan menyiksa para pemimpin gerakan tarekat. Cerita
ulama yang mati dibakar atas perintah sultan adalah sesuatu yang
memilukan di waktu itu.

*****

Di sini, KHA. Mutamakin memperkenalkan pendekatan yang lain sama sekali.
Ia mengutamakan pemunculan paham alternatif terhadap kelaliman penguasa,
namun tidak memberikan perlawanan secara terbuka. Dengan demikian, ia
lebih mengutamakan sikap memberikan contoh bagaimana seharusnya seorang
pemimpin wajib bertindak dan membiarkan para ulama sebagai alternatif
kultural di hadapan sang penguasa. Pendekatan inilah yang di kemudian
hari dikenal dengan pendekatan kultural yang memicu perlawanan rakyat,
tanpa melawan sang penguasa. Sikap ini dikecam dengan keras oleh
pendekatan politis yang menunjang penguasa dan yang menentangnya.

Pendekatan kultural ini, tidak pernah jelas-jelas menentang penguasa,
tapi ia juga tidak pernah menunjang penguasa. Di masa itu, kaum syari’ah
memberikan dukungan kepada penguasa sedangkan pihak tarekat bersikap
menentang. KHA. Mutamakin mengembangkan sikap kultural di atas, yakni
pihak tarekat yang diwakili sayap penentangan yang bersifat politis dan
sayap pilihan alternatif yang bersifat kultural. Di masa Orde Baru,
keadaan menjadi terbalik: pihak tarekat justru menjadi penunjang dan
mendukung kekuasaan, seperti terjadi pada pemimpin-pemimpin tarekat pada
masa itu. Sedangkan kaum syari’at, seperti yang tergabung dalam kalangan
NU/PPP menampilkan perlawanan kultural terhadap kekuasaan.

Sekarang, pertanyaan pokok adalah: haruskah perlawanan kultural itu
dikembangkan terus di masa depan, atau justru dimatikan, dan dengan
demikian perjuangan seterusnya menjadi perlawanan politis saja.
Jawabannya menurut penulis adalah sesuatu yang sangat komplek: bagi
organisasi non-politis, seperti NU, pendekatan yang harus diambil adalah
pendekatan kultural yang lebih didasarkan pada alternatif-alternatif
yang mengutamakan kebersihan prilaku di bidang pemerintahan. Sedangkan
bagi organisasi-organisasi politik, seperti PKB, tekanan harus
diletakkan pada penciptaan sistem politik yang bersih, meliputi ketiga
bidang ekskutif-legislatif-yudikatif. Hanya dengan kombinasi kedua
pendekatan kultural dan politis itu dapat ditegakkan proses
demokratisasi di negeri kita. Sebagaimana diketahui, demokratisasi hanya
dapat tegak kalau dapat diupayakan berlakunya kedaulatan hukum dan
adanya perlakuan yang sama bagi semua warga negara di muka
Undang-Undang. Bukankah dengan demikian, menjadi relevan bagi kita di
saat ini, pendekatan kultural yang dahulu dirintis KHA. Mutamakin?

Jakarta, 16/5/2002
*Penulis adalah ketua umum dewan syura DPP PKB, di ‘copy paste’ dari http://wahidinstitute.blogspot.co.uk

Islam Budaya dan Teknologi

Oleh: KH. Abdurrahman Wahid

PADA suatu pagi, penulis duduk di kursi depan kendaraan yang dinaikinya. Suara dari kaset terdengar memenuhi kabin kendaraan, mengalunkan bermacam shalawat yang didendangkan anak-anak dengan dipimpin seorang dewasa. Berbagai shalawat didendangkan, termasuk shalawat/pujian semasa menunggu datangyan imam di masjid/musala. Dibawakan versi lengkap dari pujian “Illahi Lastu” yang biasanya hanya diperdengarkan dua baris/bait bahasa Arab saja. Kira-kira dua jam berkendara dari tempat tinggal penulis di jalan Paso ke Hotel Marriott guna melakukan doa bersama dengan sejumlah kiai dan para agamawan lain. Dalam mendengarkan kaset shalawat dan pujian, penulis lagi-lagi dihadapkan kepada sebuah gambaran tentang masyarakat kita dewasa ini, yaitu antara dendang tradisional tapi menggunakan alat-alat sound system yang sangat canggih.

Yang penulis maksudkan adalah penggunaan teknologi canggih berarti tekonologi modern oleh pergelaran tradisional. Ini adalah kenyataan di depan mata yang tidak dapat diingkari walaupun jarang dipikirkan. Ternyata tidak seperti yang para peneliti dan pemerhati sering kemukakan mengenai adanya pertentangan teknologi modern dengan budaya tradisional. Dalam kenyataan, walaupun teknologi modern dalam banyak hal memaksakan sikap dengan meninggalkan hal-hal tradisional, dalam
beberapa aspek kehidupan justru yang tradisional itu diperkuat oleh yang modern. Jadi dalam hal ini terdapat hubungan simetris, tidak seperti apa yang dikemukakan oleh Daniel Leaner dari Universitas Harvard dalam bukunya yang berjudul “The Passing of the Tradisional Society” (Memudarnya Masyarakat Tradisional).

Bukankah yang terjadi di beberapa tempat justru sebaliknya? Justru proses bertemunya teknologi modern dan budaya tradisional menghasilkan “penyimpangan” berupa penggunaan teknologi modern itu sendiri guna kepentingan memperkuat tradisionalisme. Kaset yang penulis dengarkan dalam kendaraan tersebut adalah bukti konkret yang tidak dapat dibantah oleh siapa pun. Ini adalah sebuah wajah dari sekian banyak bentuk penguatan tradisi, seperti dicontohkan oleh pengeras suara di masjid-masjid dan musala kita, yang masih mengumandangkan Tarhim, ayat-ayat suci dan Adzan minimal lima kali sehari. Memang rumah-rumah di sekitarnya lalu turun harganya, tetapi itu tidak menghalangi terjadinya penggunaan teknologi modern untuk penguatan tradisionalisme, di samping memang tradisionalisme dalam berbagai bidang mengalami modifikasi oleh teknologi modern.

*****

Hal ini sebenarnya terjadi juga dalam “masyarakat modern” yang berteknologi maju. Di Eropa Barat, misalnya, beberapa negara mengalami kebangkitan kembali pihak Kristen Demokrat dalam politik. Apakah artinya ini? Jawabannya adalah bahwa nilai-nilai ke-Kristenan yang sangat tradisional yang mengacu kepada moralitas bangsa, akhirnya menjadi pembeda dengan partai-partai Demokrat lain di berbagai negara. “Kebangkitan kembali” kaum Nasrani ini tentu saja diakibatkan oleh porak-porandanya tatanan yang dibangun baik oleh “keangkaramurkaan” ambisi politik pribadi seperti dibawakan oleh Adolf Hitler di Jerman dan Mussolini di Italia serta Josef Stalin di Uni Soviet, serta sekularisme yang menjauhkan agama di beberapa negara. Di Amerika Serikat sendiri kehidupan politik sedikit banyak terpengaruh oleh semakin menguatnya kesadaran beragama, minimal dalam bentuk munculnya
kelompok Baptisme Selatan (Southern Baptist Convention). Dan ini juga terlihat dalam terpilihnya beberapa orang Presiden Amerika Serikat dan sepertiga jumlah anggota Kongres (Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat), yang merupakan anggota Gereja Mormon.

Bertambahnya “peranan agama” atau kebangkitan moralitas konvensional dalam kehidupan politik negara Paman Sam itu, tentunya berhadapan dengan sikap yang meremehkan kesadaran beragama. Sikap menolak keabsahan aborsi/pengguguran kandungan (right to live), adalah pencerminan moralitas konvensional ini. Ini tentu saja berkebalikan dengan kecenderungan lain, seperti keabsahan perkawinan antara kaum homosex —lesbi dan gay— yang terjadi di beberapa negara lain. Dalam kasus seperti itu, lembaga-lembaga keagamaan seperti gereja menampilkan pengunaan “alat-alat modern” untuk menampilkan sesuatu dari hal yang tradisional.

Jelas dari uraian di atas baik dalam masyarakat “Timur” maupun “Barat” telah terjadi sebuah proses dahsyat berupa pertarungan budaya, minimal dalam kehidupan moralitas, yang melibatkan penggunaan alat-alat komunikasi dan organisasi modern dan canggih, untuk menangkis ketakutan-ketakutan tradisional yang menilai jika hal itu dibiarkan saja tanpa pelawanan maka moralitas kehidupan bangsa akan merosot.

*****

Jadi tidak mengherankan jika teknologi modern itu digunakan dalam “pertempuran budaya” di sementara masyarakat. Tidak mengherankan juga jika tradisionalisme semacam itu juga muncul dalam “kesadaran beragama” yang menampilkan upaya untuk “kembali ke masa silam”, dan terjadi dalam masyarakat kita dewasa ini Sebetulnya hal itu telah terjadi ketika ada imbauan dari orang-orang seperti Moch. Yamin ataupun Sanusi Pane untuk “kembali kepada kejayaan bangsa di masa lampau.” Mereka bukannya “orang kolot” yang mengingkari teknologi modern, melainkan mereka justru menggunakannya untuk memperkuat tradisionalisme yang mereka miliki. Hakikat inilah yang harus ditangkap dari sikap mereka itu.

Inilah yang penulis tangkap dari keadaan lahiriah ketika mendengarkan melalui sound system lagu-lagu tradisional yang berupa shalawatan dan sebagainya. Dia dapat saja mengharukan seperti dalam sajak penyambutan Nabi Muhammad SAW di Madinah dengan “bulan naik di atas (Kepala) kita” (Thala’at Al-Badru’Alayina), dan dapat saja berupa tembang anak-anak Sunan Ampel, “Ilir-Ilir Tandure wis Sumiler” yang sangat terkenal di kalangan orang-orang berbahasa Jawa. Jadi penggunaan teknologi modern yang digunakan untuk menegaskan pemikiran-pemikiran tradisional bukanlah barang baru sama sekali, melainkan sudah lama berjalan. Gampang diucapkan tetapi sulit dilaksanakan, bukan?

Jakarta, 19 Agustus 2003

Penulis adalah anggota Nahdlatul Ulama., di ‘copy paste’ dari milis KOMMIT

Agamawan dan Pembangunan Desa

Oleh: KH. Abdurrahman Wahid

WALAUPUN hampir semua orang mengutarakan pengakuan lahiriyah akan adanya peranan bagi agama dalam pembangunan kita, ternyata masih cukup besar juga keraguan yang terkandung dalam hati: apakah memang benar demikian halnya?

Skeptisisme itu muncul karena beberapa sebab. Ada yang karena sulitnya pembuktian secara ilmiah akan peranan itu, walaupun diakui juga bahwa bagaimana pun juga agama tentu mempengaruhi pola tingkah laku pemeluknya, termasuk dalam masa di mana mereka sedang membangun. Kesulitannya adalah bagaimana mengenal agama sebagai pembentuk sikap hidup yang membangun itu sendiri. Kesulitan ini akhirnya menumbuhkan keragu-raguan akan adanya hubungan langsung antara agama dan pembangunan.

Adakalanya keraguan timbul dari sikap yang diperlihatkan oleh pemuka-pemuka agama dan para pengikut mereka, yang sedikit sekali menampakkan pemahaman yang nyata dan pengertian yang mendalam dan hakekat proses membangun. Apa yang mereka ributkan, apa yang mereka canangkan dan apa yang menjadi perhatian utama mereka hampir selamanya tidak memiliki kaitan dengan persoalan-persoalan pokok pembangunan. Kalaupun ada kaitannya dengan pembangunan, umumnya hanya dengan soal-soal sampingan, dan terutama dengan ekses-ekses moral yang dibawakan oleh proses membangun itu sendiri.

Perlakuan Ganjil

Tidak heranlah jika dari skeptisisme yang tidak pernah terucapkan itu lalu timbul perlakuan yang ganjil terhadap agama: diakui kehadirannya, tetapi tidak dibutuhkan dalam kenyataannya. Dari sikap ini tersusunlah strategi ganda untuk meminta legitimasi dari agama di mana dapat diperoleh, dan tidak menghiraukan pendapat agama jika legitimasi itu tidak mungkin diperoleh.

Contoh paling jelas dalam hal ini adalah pelaksanaan KB. Rumusan KB sebagai usaha penyejahteraan bangsa diminta legitimasi dari agama, tetapi pelaksanaan bagian-bagian yang menyimpang dari ajaran agama dalam program KB tetap berlangsung juga. Di samping firman-firman suci yang dipampangkan di perempatan-perempatan jalan untuk menunjukkan perkenan agama kepada KB, segala macam cara untuk memasang spiral dengan paksaan atau tidak, secara halus atau kasar, tetap dipakai juga.

Kepada para agamawan ditunjukkan wajah ketundukan, kepada para kolega yang meninjau dari luar negeri diperagakan angka 90% akseptor di kabupaten Ponorogo yang telah berhasil di”spiral”kan. Si peninjau menjadi kagum akan keberhasilan strategi berganda itu, dan terungkaplah kekaguman itu dalam komentar: “Anda ternyata telah berhasil by passing para agamawan kolot, sedang Indira Gandhi harus membayar mahal untuk itu di India.”

Sebenarnya para agamawan sendiri dapat memperjelas arti agama bagi pembangunan kepada rakyat, jika mereka mau memperhatikan sungguh-sungguh persoalan-persoalan pokok yang dihadapi oleh pembangunan itu sendiri. Perhatian itu sudah tentu harus dimulai dari pemahaman yang benar akan keadaan yang dialami oleh mayoritas bangsa dewasa ini.

Para agamawan harus mengerti bahwa laju proses pemiskinan berlangsung, karena kesenjangan yang semakin hari semakin kentara antara yang kaya dan yang miskin. Kontras menyolok antara pola konsumsi mewah di tingkatan atas dan ketidak mampuan memenuhi kebutuhan pokok di tingkatan bawah yang luas semakin hari semakin nyata saja.

Belum lagi perbedaan pendapat tentang strategi pemenuhannya, alokasi anggaran yang disediakan untuk masing-masing kebutuhan dan seterusnya. Sementara itu arus penumpukan sumber-sumber ekonomis utama di tangan sejumlah kecil orang akan berakibat bagi kehidupan masyarakat yang semakm pincang.

Pengertian akan keadaan di atas jika dihayati dengan sebenar-benarnya oleh para agamawan, akan membawa mereka kepada panggilan moral yang bersifat luas dan dinamis, yang akan membawakan pula dimensi-dimensi baru ke dalam tugas mereka dalam kehidupan masyarakat.

Untuk agamawan yang hidup di kota-kota besar, dimensi-dimensi baru itu tidak akan disinggung, karena tidak termasuk kandungan tulisan ini. Bagi para agamawan yang tinggal dan berkecimpung dalam kehidupan desa, dimensi-dimensi baru itu akan berbentuk kerja-kerja berikut:

· Mengajak rakyat untuk merumuskan sendiri apa saja yang jadi kebutuhan pokok mereka

· Menyadarkan masyarakat secara keseluruhan akan bahaya latent yang terkandung dalam proses kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin

mengajak masyarakat secara keseluruhan untuk menghentikan proses pemusatan penguasaan sumber-sumber ekonomi utama yang berupa modal, tanah dan ketrampilan teknis di tangan sejumlah kecil anggota masyarakat saja. Proses itu justru harus dibalikkan, karena ia bertentangan dengan tujuan perataan kemakmuran, keadilan dan perikemanusiaan. Lagi pula, proses pemusatan sumber-sumber ekonomis utama inilah yang menjadi penyebab adanya kesenjangan dalam pola kehidupan masyarakat, yang pada gilirannya menjadi penyebab pula dari proses pemiskinan mayoritas bangsa.

Terserah kepada para agamawan, mampukah mereka merelevansikan arti agama mereka bagi pembangunan di desa dengan cara membawa dimensi-dimensi baru di atas?

TEMPO, 1 Juli 1978, di ‘copy paste’ dari milis KOMMIT

Islamisasi Iptek, Bagaimana Wujudnya?

Oleh: KH. Abdurrahman Wahid

Dalam beberapa puluh tahun terakhir ini, banyak orang berbicara tentang
proses “mengislamkan” ilmu pengetahuan dan teknologi. Pembahasan mengenai
hal itu selalu berbarengan dengan penuturan bahwa iptek modern atau “buatan
barat” bersifat sangat materialistis dan tidak mengandung spirit/jiwa
agama. Karena ini dianggap salah, maka Islam datang sebagai “koreksi” atas
kesalahan tersebut. Ini berkesesuaian dengan fungsi Islam sebagai agama
terakhir yang diturunkan Allah untuk melakukan ‘koreksi’ atas agama-agama
terdahulu. Berkaitan dengan itu sering dipakai sebagai qiyas (analogi) ayat
Al-Qur’an: “Diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
kaum-kaum sebelum kamu” (Kutiba ‘alaykum al-shiyam kama kutiba a’la ladzina
min qablikum). Namun kiasan ini sebenarnya tidak dapat dilakukan, karena
alasan-alasan (wajalu al-Qiyas)-nya tidak dapat dipaksa. Tidak ada hubungan
antara Iptek dan ibadah berpuasa, biar dibalik bagaimanapun juga. Lebih
tepat kalau digunakan ayat berikut: “Hari ini telah ku-sempurnakan bagi
kalian agama kalian ku-sempurnakan pemberian nikmat-ku dan ku relakan Islam
sebagai agama kalian“ (Al-yauma akmaltulakum dinakum wa atmamtu a’laikum
ni’mati wa radhaitu lakum al-Islamah diman). Karena dengan prinsip
kesempurnaan Islam sebagai pengatur kehidupan, maka ia pun akan mengatur
aspek terpenting lainnya seperti pengembangan Iptek.

Hanya saja, kita terbentur pada kenyataan sejarah bahwa penemuan demi
penemuan Iptek sebagai “perangkat keras” (hardware) dilakukan hampir
seluruhnya oleh orang-orang non Muslim. Ini adalah kenyataan obyektif yang
tidak harus dibantah oleh siapapun juga. Bahkan sekarangpun, anak-anak kita
bersekolah dengan menggunakan “acuan-acuan” John Dewey dengan filsafat
pendidikannya yang disebut pragmatisme dan diajarkan di negeri-negeri
barat, tempat lahirnya metode belajar kebanyakan anak-anak kita. Sungguh
merupakan hal yang ironis, ketika kita memaki-maki “peradaban Barat”, kita
justru hidup menggunakan produk-produk peradaban tersebut. Ini adalah suatu
hal sangat ironis dan merupakan krisis yang belum teratasi oleh kita
sendiri sampai sekarang.

****

Oleh penelitian empirik, banyak postulat-postulat yang kita terima sebagai
“kebenaran” ternyata dibuktikan sebaliknya.

Kita akan banyak bertentangan dengan hasil-hasil penelitian perangkat keras
itu, ambil contoh gambaran Al-Qur’an tentang bumi dan ketujuh lapis langit
(Al-Ardh wa Al-Samawat Al-Saba’ah) mengandaikan bahwa jagad raya ini
berlapis-lapis, sesuatu yang menurut penelitian empirik oelh Galileo bukan
demikian halnya. Penelitian demi penelitian empirik selanjutnya ditambah
oleh gambaran-gambaran teoritik dari astronomi (ilmu perbintangan) modern,
jelas menyatakan bahwa bumi hanyalah salah sebuah titik kecil dalam alam
jagad raya mahaluas (sekitar 11 milyar tahun cahaya), dan berputar
mengelilingi matahari.

Matahari sekalipun sebagai pusat tata surya kita hanyalah sebuah satelit
mengitari sebuah pusat lain dalam alam jagad raya ini. Demikian seterusnya,
sampai kita kepada sebuah “lubang hitam” yang luar biasa daya tarik
(gravitasi) nya. Seolah-olah setiap planet dan benda apapun yang “terhisap”
olehnya, akan lemahnya grafitasi dan lenyap tanpa diketahui dimana ia
berada. Dari sekian banyak planet-planet yang ada di dalam jagad raya ini,
“kebetulan” Bumi memiliki mahluk-mahluk hidup, diantaranya manusia yang
memerlukan tempat dan makanan, udara dan cuaca yang berubah-ubah. Untuk
menghadapi perubahan-perubahan cuaca itu, manusia mengembangkan
pakaian-pakaian tipis dan tebal sesuai dengan kebutuhan. Untuk makanannya,
jika perlu manusia mengembangkan pertanian hydroponics dan rumah-rumah kaca
(glass house).

Bahkan, untuk mengatur agar semua itu berlangsung secara “normal” manusia
mendirikan pemerintahan, yang sekarang sebagian besar berbentuk
negara-bangsa (nations-states). Pemerintahan bersandar pada aparat yang
bekerja di bidang masing-masing dan mempunyai fungsi yang mengikat.
Masing-masing warga negara harus mematuhi perangkat pemerintahan itu agar
supaya semua hal dapat diatur dan segala sesuatunya berlangsung dalam
keseimbangan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang ditetapkan. Jika
keseimbangan ini terganggu maka kehidupan seluruh warga negara akan
terancam, ditakutkan akan menjadikan tiap orang “binatang buas” (leviathan)
bagi warga negara yang lain. Terkenal dalam hal ini adalah pribahasa
“manusia memakan sesamannya” (homo homini lupus).

****

Jadi, kemajuan iptek umat manusia diatur oleh kelompok yang memimpin
pemerintahan. Idealnya kekuasaan itu harus bergantian memegang pimpinan
negara. Kritik-kritik dan saran-saran harus disampaikan secara jujur dan
terbuka terkadang dalam kerangka “menjatuhkan pemerintah”. Pemerintah
sendiri boleh saja mempertahankan pendapat dan kebesarannya namun semuanya
itu harus diatur melalui lembaga-lembaga yang dibentuk oleh undang-undang
masyarakat sendiri harus berfungsi mempertahankan
“keseimbangan-keseimbangan” antara pemerintah di satu pihak dan mereka yang
mengajukan kritik di pihak lain.

Inilah esensi demokrasi, yang seringkali dilupakan orang. Kalau warga
masyarakat tidak berani mempertahankan demokrasi, maka yang akan terjadi
adalah hilangnya keseimbangan antara yang mengajukan kritik dan
menentangnya. Berarti pula hilangnya keseimbangan antara yang memerintah
dan yang diperintah. Segala kenikmatan hidup yang hanya akan dinikmati
mereka yang memerintah dan para pendukung, sedang rakyat kebanyakan akan
tetap hidup di bawah garis kemiskinan. Tentu saja tiap orang akan
mengatakan tidak setuju dengan kenyataan itu, tetapi jika negara diperintah
secara tidak demokratis hal itu akan terjadi.

Nah, dalam hal memelihara orientasi kehidupan demokratis seperti itulah
Islam harus berfungsi. Karenanya Islam dapat saja menggunakan temuan-temuan
Iptek “orang lain”, selama ia mengarahkan penggunaan hal itu untuk
kepentingan menegakkan demokrasi. Di sinilah terletak “kelebihan” semua
peradaban yang menempatkan manusia sebagai mahluk mulia di mata Allah.
Kalau Islam memiliki kebesaran Iptek dan tradisi pengembangannya dan jika
peradaban-peradaban lain juga demikian, maka umat manusia akan hidup dalam
kemuliaan yang di cita-citakan Islam. Jadi dalam fungsi mensejahterakan,
Islam bersama-sama dengan yang lain mengatur arah dan orientasi Iptek,
bukan dalam kesepian dan kesendirian. Mudah dikatakan, namun sulit
dilakukan, bukan? []

Jakarta, 17 November 2003, di ‘copy paste’ dari milis KOMMIT