Islam: Sebuah Ajaran Kemasyarakatan

Duta Masyarakat Baru, Oleh: Abdurrahman Wahid*

Charles Torrey menyatakan dalam disertasinya, kitab suci Al-Qur’an
sangat menarik bila dibandingkan dengan kitab suci agama lain. Kenapa ia
menyatakan demikian? Karena, seperti dikatakannya, kitab suci tersebut
menggunakan peristilahan profesional untuk menyatakan hal-hal yang
paling dalam dari lubuk hati manusia. Dengan demikian, Al-Qur’an
memberikan penghormatan yang sangat tinggi kepada profesi yang kita
anut. “Barang siapa mengikuti selain Islam sebagai agama maka amal
perbuatannya tidak akan diterima (menurut Islam) dan di akhirat kelak ia
akan merugi perdagangannya” (man yabtaghi ghaira al-Islam diinan falan
yuqbala minhu wahua fi al-akhirati min al-khasirin). Bukankah istilah
merugi, dalam dunia perdagangan merupakan istilah profesional, dalam hal
ini dipakai untuk menunjuk hal yang paling dalam di hati manusia, yaitu
tidak memperoleh pahala?

Istilah-istilah lain dari dunia profesi juga dipakai dalam pengertian
yang sama oleh kitab suci tersebut. Barang siapa memberi pinjaman kepada
Allah dengan pinjaman yang baik, maka Ia akan melipatgandakan
imbalannya” (man yuqridhillaa qardhan hasanan fayudha’ifahu), jelas
menunjuk kepada perolehan pahala, dan bukannya pengembalian kredit
seperti di bumi. Hal inilah yang harus kita mengerti, jika diinginkan
pemahaman lengkap terhadap kitab suci tersebut: kitab suci itu bukanlah
dokumen politik, melainkan sebuah penggambaran kehidupan yang lengkap,
termasuk pemahaman sejarah masa lampau.

Ketika Allah berfirman: “barang siapa menginginkan panenan di akhirat
kelak, akan Ku-tambahi panenannya” (man kaana yuriidu harth al-akhirati
nazid lalu fi harthihi), yang lagi-lagi berbicara tentang pahala di
akhirat bagi perbuatan kita di dunia ini. Bahwa istilah-istilah
perdagangan dan pertanian digunakan untuk keinginan manusia memperoleh
pahala bagi amal perbuatannya, merupakan penghargaan yang sangat tinggi
atas profesi seseorang.

*****

Dalam sebuah ayat suci Al-Qur’an dinyatakan: “orang-orang yang berpegang
pada janji mereka, di kala menyampaikan prasetia” (wa al-mufuuna bi
‘ahdihim idza ‘aahadu) jelas menunjuk kepada profesionalisme seperti
itu. Bukankah manusia paling mengutamakan janji profesi ketika
mengucapkan prasetia? Dikombinasikan dengan pengamatan Torrey di atas
jelaslah bahwa Islam memberikan penghargaan sangat tinggi kepada
profesi. Hal inilah yang justru hilang dari kehidupan kaum muslimin
dalam beberapa abad yang silam, karena memberikan tempat terlalu banyak
kepada kaum penguasa, serta kebijakan-kebijakan dan tindakan-tindakan
mereka, alias pemberian perhatian terlalu besar porsinya kepada aspek
politik dalam diri kehidupan bangsa-bangsa muslim.

Sebagai akibat, perhatian atas masalah-masalah profesional ternyata
kurang besar, dan dengan sendirinya pemikiran ke arah itupun menjadi
sangat kecil. Pada saat yang sama, banga-bangsa Barat telah mencurahkan
perhatiannya yang sangat besar kepada masalah-masalah profesi. Dengan
sendirinya, pertautan antara Islam sebagai ajaran dan profesi sebagai
penerapan ajaran-ajaran tersebut, menjadi tidak bersambung satu sama
lain. Ini mengakibatkan ketertinggalan sangat besar dalam pemahaman
Islam sebagai agama kehidupan di kalangan para pemeluknya. Karenanya,
diperlukan sebuah keberanian moral untuk merambah jalan baru bagi sebuah
penafsiran, yang tidak lain adalah sebuah pendekatan profesional.
Kita ambil sebuah firman dalam kitab suci Al-Qur’an: “jika kalian di
sapa dengan sapaan yang baik, maka sapalah dengan ungkapan yang lebih
baik lagi” (wa idza huyyitum bitahiyyatin fa hayyu bi ahsana minha),
jelas-jelas memerlukan pendekatan profesional, katakanlah bagi seorang
produsen barang. Artinya, kalau barang produksi anda dipuji orang lain,
maka tingkatkanlah mutu produksi barang itu sebagai jawaban atas
pernyataan baik yang diucapkan. Hanya dengan cara itulah seorang muslim
dapat membuat interpretasi atas perbuatan-perbuatan kita di dunia ini.

*****

Kalau hal ini kita renungkan secara mendalam, jelas bahwa Islam
memperlakukan kehidupan sebagaimana mestinya. Sebuah pemahaman yang
benar akan menunjuk kepada kenyataan bahwa Islam bukanlah agama politik
semata. Bahkan dapat dikatakan bahwa porsi politik dalam ajaran Islam
sangatlah kecil, itupun terkait langsung dengan kepentingan orang
banyak, yang berarti kepentingan rakyat kebanyakan (kelas bawah di
masyarakat). Kalau hal ini tidak disadari, maka politik akan menjadi
panglima bagi gerakan-gerakan Islam dan terkait dengan institusi yang
bernama kekuasaan.

Bukankah ini bertentangan dengan firman Allah dalam kitab suci
Al-Qur’an: “apa yang diberikan Allah kepada utusan-Nya sebagai pungutan
fai’ dari kaum non-muslim (sekitar Madinah), hanya bagi Allah,
Utusan-Nya, sanak keluarga terdekat, anak-anak yatim, kaum miskin dan
pejalan kaki untuk menuntut ilmu dan beribadat, agar supaya harta yang
terkumpul tidak hanya beredar di kalangan kaum kaya saja di lingkungan
kalian” (maa afaa Allahu min ahli al-Qurra fa lillahi wa rasulihi wa
lidzi al-qurba wa al-yatama wa al-masaakini wa ibni al-sabil, kaila
yakuuna duulatan baina al-aghniya’ minkum). Bukankah Islam mementingkan
fungsi pertolongan kepada kaum miskin dan menderita, dan tidak
memberikan perhatian khusus tentang bentuk negara yang diinginkan?
Ini tentu berarti Islam lebih mementingkan pendekatan profesional, dan
bukannya pendekatan politis dalam memandang sesuatu persoalan. Kalau
saja ini dimengerti dengan baik, akan menjadi jelaslah mengapa Islam
lebih mementingkan masyarakat adil dan makmur, dengan kata lain
masyarakat sejahtera, yang lebih diutamakan kitab suci tersebut dari
pada masalah bentuk negara. Kalaulah hal ini disadari sepenuhnya oleh
kaum muslimin, tentulah salah satu sumber keruwetan dalam hubungan
antara sesama umat Islam dapat dihindarkan. Artinya, ketidakmampuan
dalam memahami hal inilah, yang menjadi sebab kemelut luar biasa dalam
lingkungan gerakan Islam dewasa ini.

Paso, 24/5/2002
*Penulis adalah ketua umum dewan syura DPP PKB, di ‘copy paste’ dari http://wahidinstitute.blogspot.co.uk

Leave a comment