Islam Dan Fungsi Keadilan

Duta Masyarakat Baru, Oleh: Abdurrahman Wahid*

Dalam tulisan-tulisan terdahulu, tampak jelas bahwa Islam tidak
mementingkan bentuk kelembagaan, melainkan fungsi-fungsi lembaga. Karena
itu, Islam tidak mengenal konsep tentang negara, melainkan tentang
fungsi-fungsi negara. Dengan demikian, sebuah konsep negara bangsa
(nation-state) menjadi sama nilainya dengan negara Islam. Pentingnya
fungsi tersebut, akan dibicarakan dalam tulisan ini. Karenanya, prinsip
pentingnya fungsi harus sudah dimiliki ketika membahas tulisan ini.

Sikap ini, tidak berarti Islam memusuhi konsep negara agama, termasuk
konsep tentang Negara Islam, melainkan hanya menunjukkan betapa bentuk
negara bukanlah sesuatu yang esensial dalam pandangan Islam, karena
segala sumber-sumber tekstual (adillah naqliyah) tidak pernah
membicarakan bentuk-bentuk negara. Yang selalu dibicarakan adalah
berbagai fungsi dari sebuah negara, dan ini mengaharuskan kita untuk
membuat telaahan secara mendalam mengenai konsep Negara Islam tersebut.

Tanpa telaahan yang mendalam, kita akan bertindak gegabah dan bersikap
emosional dalam menyusun konsep tersebut. Hal ini nyata-nyata
bertentangan dengan petunjuk tekstual itu sendiri. Kitab suci Al-qur’an
telah berfirman: “bertanyalah kepada yang mengerti, jika kalian tidak
mengetahui masalah yang dibicarakan” (fa al-as’aluu ahla al-dzikri in
kuntum laa ta’lamuun).

Sikap ini, harus di ambil dan dimiliki kaum muslimin, jika mereka ingin
menegakkan agama dan menjunjung tinggi ajaran-ajaran-Nya. Sikap
emosional itu sendiri, dalam jangka panjang akan sangat merugikan,
sedangkan dalam jangka pendek akan menambah keruwetan dalam perjuangan
kaum muslimin sendiri. Ini bukan berarti penulis menentang gagasan
adanya partai Islam, bahkan menegaskan bahwa parai-partai tersebut harus
membuat telaahan tentang Negara Islam, hingga gagasan tersebut
benar-benar dapat diterima oleh akal yang sehat dan oleh hati nurani
kita sendiri. Hanya dengan sikap seperti itulah, perjuangan kaum
muslimin akan membawa hasil yang diharapkan, dan mampu membawa kaum
muslimin tersebut kepada pemenuhan tujuan yang diharapkan: “negara yang
baik, penuh dengan pengampunan Tuhan” (baldatun tayyibatun wa rabbun
ghafur).

*****

Salah satu fungsi negara dalam pandangan Islam, adalah menegakkan
keadilan. Firman Allah dalam kitab suci Al-qur’an berbunyi; “wahai
orang-orang yang beriman, tegakkah keadilan dan jadilah saksi bagi
Allah, walaupun mengenai diri kalian sendiri” (yaa ayyuha al-ladzina
amanuu kuunu qawwamiina bi al-qishti syuhada’a lillahi walau ‘ala
anfusikum). Jelas di sini, yang diminta adalah fungsi keadilan, bukannya
bentuk penyelenggaraan keadilan oleh negara.

Jelas dari ayat ini, Islam lebih mementingkan penyelenggaraan keadilan,
dan bukan bentuknya. Adakah keadilan itu mengambil bentuk ditetapkannya
hukuman-hukuman pidana, ataukah berupa tender yang independen dan bebas
dari permainan orang dalam (insider’s trading), tidaklah menjadi
persoalan benar. Yang terpenting adalah berfungsinya keadilan dalam
kehidupan sehari-hari. Ini yang harus dipegangi oleh umat Islam dalam
menegakkan negara, jika diinginkan kesejahteraan bersama dapat diraih
oleh seluruh warga bangsa.

Walaupun agak menyimpang dari pembahasan pokok ayat ini, dapat
dikemukakan pendapat Al-‘athmawi, mantan ketua Mahkamah Agung (MA)
Mesir, bahwa Hukum Pidana Islam mengenal prinsip menghindari dan
menghukum (deterrence and punishment) terhadap/atas
pelanggaran-pelanggaran pidana yang terjadi, karenanya setiap hukum yang
memuat pinsip ini, termasauk hukum Pidana Barat (Napoleonic Criminal
Law) yang berlaku di Mesir saat ini, sudah berarti melaksanakan hukum
Pidana Islam tersebut. Memang, terjadi perdebatan sengit tentang
pendapat Al-‘athmawi tersebut, tetapi penjelasan di atas menunjukkan
besarnya kemungkinan yang dikandung oleh firman Allah di atas dalam
penyelenggaraan negara yang sesauai dengan prinsip-prinsip Islam.

Dengan demikian, menjadi jelas bahwa dalam penyelenggaraan kehidupan
bernegara, yang terpenting adalah bagaimana keadilan itu dapat
diwujudkan, bukannya bentuk negara yang diinginkan. Maka, jelaslah Islam
lebih mementingkan fungsi dan bukan bentuk negara, suatu hal yang sering
kita lupakan. Karenannya, pembahasan kita selanjutnya lebih baik
ditekankan pada fungsi penyelenggaraan pemerintahan dari pada bentuk
negara yang diinginkan.

*****

Strategi yang demikian sederhana, ternyata tidak dimengerti banyak
orang. Apakah sebabnya? Karena orang lebih mementingkan formalitas
sesuatu dari pada fungsinya. Tetapi, Islam juga mempunyai formalitas
lain, yaitu pentingnya permusyawaratan/rembugan. Kitab suci Al-qur’an
menyatakan; “dan persoalan mereka haruslah di musyawarahkan oleh mereka
sendiri” (wa amruhum syura bainahum), berarti secara formal Islam
mengharuskan adanya demokrasi. Dalam sistem demokratik yang sebenarnya,
suara penduduk yang memilih (voter’s voice) yang menentukan, dalam
adagium bahasa latin disebutkan “vox populi vox dei” (suara rakyat
adalah suara Tuhan), jelas menunjukkan betapa penting arti demokrasi
bagi Islam. Kalau rakyat memilih bukan partai Islam yang memerintah,
dengan sendirinya formalitas keadilan juga ikut terkena.

Dalam hal demikian, maka partai-partai Islam dan kaum muslimin haruslah
menggunakan prinsip-prinsip yang terkandung dalam ajaran Islam, bukannya
bentuk lahiriyyah. Dari pembahasan singkat tentang fungsi keadilan yang
harus terwujud dalam pemerintahan sebuah negara, menjadi nyata bagi kita
bahwa mereka yang tidak menginginkan Negara Islam, tetapi menuntut
pelaksanaan keadilan yang nyata dalam kehidupan, berarti telah
melaksanakan ajaran Islam. Karena itu, kita harus mementingkan arti
penyelenggaraan keadilan dalam kehidupan kita, sebagai amanat yang harus
kita perjuangkan habis-habisan. Justru mereka yang mementingkan
formalitas Hukum Islam tetapi melupakan penyelenggaraan keadilan ini,
harus dipertanyakan sudah memperjuangkan ajaran Islam-kah atau belum?
Sederhana bukan?

Jakarta, 1/6/2002
*Penulis adalah ketua dewan syura DPP PKB, di ‘copy paste’ dari http://wahidinstitute.blogspot.co.uk