Sistem Budaya Daerah Kita dan Modernisasi

Sistem Budaya Daerah Kita dan Modernisasi
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid

Beberapa belas tahun lalu, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengadakan penelitian tentang 14 sistem budaya daerah di negeri kita. Sistem budaya daerah Aceh hingga Nusa Tenggata Timur (NTT) diteliti, termasuk sistem budaya Jawa I dan Jawa II. Yang dimaksudkan dengan sistem budaya Jawa I adalah sistem budaya Jawa yang ada di daerah-daerah pusat keraton, seperti Yogyakarta dan Solo. Sebaliknya, sistem budaya Jawa II adalah Jawa pinggiran, terutama di Jawa Timur.

Budaya pesantren, dalam hal ini, termasuk sistem budaya Jawa II. Hasil yang sangat menarik dari penelitian tersebut, yang dipimpin Dr. Mochtar Buchori, adalah pentingnya menerapkan sistem-sistem tersebut di saat sistem modern belum dapat diterapkan. Sistem budaya Ngada di Flores Timur, umpamanya, adalah substitusi bagi sistem hukum nasional kita di daerah itu, ketika belum berdiri lembaga pengadilan di sana. Kode etik Siri dalam masyarakat Bugis, yang berintikan pembelaan terhadap kehormatan diri, tidaklah lekang pada masa ini. Beberapa kejadian penggunaan badik untuk mempertahankan diri, di berbagai daerah di kalangan orang Bugis, jelas menunjukkan adanya penerapan nilai-nilai yang berlaku dalam sistem budaya daerah Bugis itu.

Penelitian menunjukkan, terdapat kemampuan hidup sistem budaya daerah kita di tengah-tengah arus modernisasi yang datang tanpa dapat dicegah. Karenanya, sikap yang tepat adalah bagaimana memanfaatkan sistem budaya daerah di suatu tempat dalam satu periode, dengan dua tujuan: menunggu mapannya masyarakat dalam menghadapi modernisasi, dan mengelola arus perubahan untuk tidak datang secara tiba-tiba. Dengan cara demikian, kita dapat mengurangi akibat-akibat modernisasi menjadi sekecil mungkin.

***

Clifford Geertz dari Universitas Princeton, menganggap kyai/ulama’ pesantren sebagai “makelar budaya” (cultural broker). Dia menyimpulkan demikian, karena melihat para kyai melakukan fungsi screening bagi budaya di luar masyarakatnya.

Nilainilai baru yang dianggap merugikan, disaring oleh mereka agar tidak menanggalkan budaya lama —kyai bagaikan dam/ waduk yang menyimpan air untuk menghidupi daerah sekitar. Namun pengaruh budaya luar yang datang ke suatu daerah, bagaikan permukaan air yang naik oleh adanya bendungan itu. Masyarakat dilindungi dari pengaruh-pengaruh negatif, dan dibiarkan mengambil pengaruh-pengaruh luar yang positif.

Hiroko Horikoshi dalam disertasinya2 berhasil membuktikan bahwa Kyai mengambil peranan sendiri untuk merumuskan gerak pembangunan di tempat mereka berada. Ini berarti, menurut Horikoshi reaksi pesantren terhadap modernisasi tidaklah sama dari satu ke lain tempat. Dengan demikian, tidak akan ada sebuah jawaban umum yang berlaku bagi semua pesantren terhadap tantangan proses modernisasi. Dengan kata lain, Horikoshi menolak pendapat Geertz di atas.

Menurut Horikoshi, masing-masing pesantren dan Kyai akan mencari jawaban-jawaban sendiri —dan, dengan demikian tidak ada jawaban umum yang berlaku bagi semua dalam hal ini. Pendapat Geertz di atas, dengan sendirinya, terbantahkan oleh temuan-temuan yang dilakukan Horikoshi terhadap reaksi Kyai Yusuf Thojiri dari Pesantren Cipari, Garut, atas tantangan modernisasi. Pesantren yang dipimpin oleh besan mendiang KH. Anwar Musaddad itu, tentu memberikan reaksi lain terhadap proses modernisasi. Pesantren yang sekarang dipimpin oleh Ustadzah Aminah Anwar Musaddad itu, sekarang justru tertarik pada upaya mendukung Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang bergerak di bidang garment dan pelestarian lingkungan alam melalui penghutanan kembali.

***

Jelaslah dengan demikian, bahwa bermacam cara dapat digunakan untuk mengenal berbagai reaksi terhadap proses modernisasi. Ada reaksi yang menggunakan warisan sistem budaya daerah, tapi ada pula yang merumuskan reaksi mereka dalam bentuk tradisi yang tidak tersistemkan. Ada pula reaksi yang bersifat temporer, tapi ada pula yang bersifat permanen. Ada yang berpola umum, tapi ada pula yang menggunakan caracara khusus dalam memberikan reaksi.

Kesemuannya itu dapat disimpulkan, keengganan menerima bulat-bulat apa yang dirumuskan “orang lain” untuk diri kita sendiri. Proses pribumisasi (nativisasi) berlangsung dalam bentuk bermacammacam, pada saat tingkat penalaran dan keterampilan berjalan, melalui berbagai sistem pendidikan. Dengan demikian, proses pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) di Indonesia berjalan dalam dua arah yang berbeda. Di satu pihak, kita menerima pengalihan teknologi dan keterampilan dari bangsa-bangsa lain, melalui sistem pendidikan formal—maka, lahirlah tenagatenaga profesional untuk mengelolanya. Di pihak lain, pendidikan informal kita justru menolak pendekatan menelan bulat-bulat apa yang datang dari luar.

Dengan demikian, tidaklah heran jika ada dua macam jalur komunikasi dalam kehidupan bangsa kita. Di satu sisi, kita menggunakan jalur komunikasi modern, yang bersandar pada sistem pendapat formal dan media massa. Media massa pun, yang dahulu sangat takut pada kekuasaan pemerintah, kini justru tunduk terhadap kekuasaan uang; dengan kemampuan yang belum berkembang menjadi proses yang efektif. Di sisi lain, digunakan jalur lain, yaitu komunikasi langsung dengan massa kongregasi jama’ah masjid/surau, gereja, pengajian-pengajian khalayak/majelis ta’lim, kelenteng/vihara, merupakan saluran wahana langsung tersebut. Apalagi, jika seseorang atau kelompok mampu menggunakan kedua jalur komunikasi itu, tentu akan menjadikan sistem politik kita sekarang dan di masa depan menjadi sangat transparan, akan menjadi lahan menarik untuk dapat dipelajari dan diamati dengan seksama. []

*) Diambil dari Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi, 2006 (Jakarta: The Wahid Institute).

Persaudaraan dan Pluralitas

Oleh: KH. Abdurrahman Wahid

Judul dari artikel ini adalah persaudaraan dan pluralitas kita, yaitu adanya persaudaraan dalam kemajemukan kita memandang kehidupan.

Habib Saggaf, pemimpin Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman di Parung, Bogor, yang bercerita bahwa ia pertama kali mengetahui tentang perlunya menghargai pluralitas dari penulis artikel ini.Kemudian itu terbukti pada waktu dia harus mendirikan usaha roti untuk makan ribuan santrinya yang kebanyakan yatim piatu.
Ketika mendirikan usaha tersebut, dia diberi bantuan oleh kawan- kawan nonmuslim. Di sinilah dia baru merasakan pentingnya menyayangi yang berbeda (pluralitas) dalam kehidupan. Jika memiliki sikap pluralistik seperti itu memang diperlukan, maka kita lalu bertanya,apakah pandangan itu bisa menjadi pendorong bagi dialog antara semangat kebangsaan/nasionalisme dan ajaran agama Islam untuk keutuhan bangsa ini?
Sampailah kita pada sebuah kenyataan sejarah yang tidak dapat dibantah, yaitu tentu ada kekuatan yang mendorong ketika kita “memulai”kebangkitan ajaran agama kita.Penulis menandai hal itu dengan kehadiran Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Pada 1912, KH M Hasyim Asy’ari diberi tahu bahwa perkumpulan baru bernama Muhammadiyah didirikan kalangan kaum muslimin di Yogyakarta.

Beliau bertanya: “Siapakah pendirinya?”Tiga hari kemudian beliau diberi tahu bahwa pendirinya adalah H Ahmad Dachlan dari Yogyakarta. Beliau bertanya lagi, apakah orang itu dahulunya sama-sama jadi santri dengan beliau di Pondok Pesantren Kyai Shaleh Darat, Semarang?

Ketika memperoleh jawaban bahwa sang pendiri itu benar teman beliau di Pondok Pesantren Shaleh Darat, beliau mengatakan bahwa tokoh tersebut adalah orang baik,walaupun ibadahnya “tidak sama”dengan kita.Beliau juga mengatakan bahwa pada waktu itu mereka berdua sekamar dengan orang ketiga, yaitu Sosrokartono, kakak kandung orang yang kemudian kita kenal dengan nama RA Kartini dari Rembang.
Di sinilah sejarah seolah memilih dan membentuk sejarah Indonesia modern. Persaudaraan itu bertambah lagi bahwa antara HOS Tjokroaminoto dari Surabaya dan KH Hasyim As’yari memang ada pertalian kekeluargaan, yaitu sama-sama keturunan Kyai Harun (Ki Ageng Basjariah) dari Sewulan, sepuluh kilometer sebelah selatan Kota Madiun.

Dialog antara nasionalisme/ kebangsaan dan ajaran agama Islam antara mereka berdua terus berlanjut, karena HOS Tjokroaminoto memiliki menantu bernama Soekarno (di belakang hari dikenal dengan nama Bung Karno). Juga karena ada keluarga lain di kalangan mereka, yaitu Djojosugito, dari keluarga yang sama, yang mendirikan Gerakan Ahmadiyah Indonesia.

Dari kebutuhan dialog seperti inilah, lalu dirasakan kepentingan melembagakan/institusionalisasi kebutuhan tersebut. Karena itu,setelah Perang Dunia I, menjelang 1920-an mereka membangun kekuatan. Ternyata, gerakan Syarikat Islam (yang di belakang hari menjadi Partai Syarikat Islam Indonesia/ PSII) diinfiltrasi komunis.
Lahirlah apa yang kelak dikenal sebagai SI Merah yang cukup lama memegang dominasi atas kehidupan politik bangsa kita.Lalu akibatnya bagi lingkungan NU, lahir orang-orang NU yang mementingkan Islam sebagai ideologi politik,bukannya sebagai gerakan kultural/budaya. Inilah yang kemudian menjadi “ideologi resmi” gerakan Islam di negeri kita kini.

Mereka antara lain mewujudkannya dalam Partai Arab Indonesia (PAI) dan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang kemudian hari menjadi Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia). Pandangan mereka itu sekarang diteruskan oleh berbagai gerakan, seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI) dan seterusnya.Kenyataan sejarah seperti ini menjadi milik kita bersama.
Penulis artikel ini pernah ditanya seorang pemimpin HTI,Anda masih menginginkan dijalankannya syariat Islam? Penulis menjawab masih. Dia lalu menanyakan kepada penulis artikel ini, mengapa menolak kekhalifahan (konsep negara Islam)? Penulis menjawab,kita sama-sama menerima syariat Islam tetapi berbeda dalam gagasan negara Islam.

Bagi penulis artikel ini, gagasan itu bukanlah barang wajib.Antara negara dan syariah harus dibedakan.Tetapi kita berdua sama-sama percaya pada syariah dan ajaran agama Islam. Kita bahkan dianjurkan untuk tidak saling bermusuhan bahkan saling bersaudara. Ini juga penulis kemukakan dalam sebuah seminar tentang gerakan Islam fundamentalis dan radikal yang diselenggarakan pada musim panas 2006 di Akademi Angkatan Udara (Air Force Academy), Colorado, Amerika Serikat (AS).

Karena pada waktu itu penulis dilarang pergi ke AS oleh para dokter, tahun berikutnya Donald Rumsfeld, yang waktu itu masih menjabat sebagai Menteri Pertahanan AS, meminta penulis membuat rekaman video berisikan pikiran-pikiran penulis artikel ini tentang hal itu. Dalam rekaman penulis menyatakan tidak pernah menganggap teman seagama sebagai keluar dari Islam, bahkan menganggap mereka sebagai saudara.
Karena itu,penulis artikel ini meminta para peserta seminar tersebut mencari titik-titik temu dengan mereka.Permintaan itu adalah sesuatu yang berat karena para peserta seminar itu adalah orang-orang yang selalu diganggu oleh kaum fundamentalis dan radikalis.

Menganggap kaum fundamentalis dan radikal bukan Islam lagi tidak dapat dilakukan penulisartikelinikarena mereka “berjuang” dengan cara mereka untuk kepentingan Islam.Kami tidak menentang mereka, me-lainkan menentang tindakan mereka. Tapi perbedaan cara berjuang itu tentu tidak mengharuskan sikap saling mengafirkan antara penulis artikel ini dan mereka. Ini juga sikap pluralistik dalam memandang kehidupan, bukan?(*)

URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/persaudaraan-dan-pluralit
Keterangan Artikel
Sumber: Koran Sindo Tanggal: 18 Jan 08
Dikutip dari: http://santrigusdur.com

Islam: Sebuah Ajaran Kemasyarakatan

Duta Masyarakat Baru, Oleh: Abdurrahman Wahid*

Charles Torrey menyatakan dalam disertasinya, kitab suci Al-Qur’an
sangat menarik bila dibandingkan dengan kitab suci agama lain. Kenapa ia
menyatakan demikian? Karena, seperti dikatakannya, kitab suci tersebut
menggunakan peristilahan profesional untuk menyatakan hal-hal yang
paling dalam dari lubuk hati manusia. Dengan demikian, Al-Qur’an
memberikan penghormatan yang sangat tinggi kepada profesi yang kita
anut. “Barang siapa mengikuti selain Islam sebagai agama maka amal
perbuatannya tidak akan diterima (menurut Islam) dan di akhirat kelak ia
akan merugi perdagangannya” (man yabtaghi ghaira al-Islam diinan falan
yuqbala minhu wahua fi al-akhirati min al-khasirin). Bukankah istilah
merugi, dalam dunia perdagangan merupakan istilah profesional, dalam hal
ini dipakai untuk menunjuk hal yang paling dalam di hati manusia, yaitu
tidak memperoleh pahala?

Istilah-istilah lain dari dunia profesi juga dipakai dalam pengertian
yang sama oleh kitab suci tersebut. Barang siapa memberi pinjaman kepada
Allah dengan pinjaman yang baik, maka Ia akan melipatgandakan
imbalannya” (man yuqridhillaa qardhan hasanan fayudha’ifahu), jelas
menunjuk kepada perolehan pahala, dan bukannya pengembalian kredit
seperti di bumi. Hal inilah yang harus kita mengerti, jika diinginkan
pemahaman lengkap terhadap kitab suci tersebut: kitab suci itu bukanlah
dokumen politik, melainkan sebuah penggambaran kehidupan yang lengkap,
termasuk pemahaman sejarah masa lampau.

Ketika Allah berfirman: “barang siapa menginginkan panenan di akhirat
kelak, akan Ku-tambahi panenannya” (man kaana yuriidu harth al-akhirati
nazid lalu fi harthihi), yang lagi-lagi berbicara tentang pahala di
akhirat bagi perbuatan kita di dunia ini. Bahwa istilah-istilah
perdagangan dan pertanian digunakan untuk keinginan manusia memperoleh
pahala bagi amal perbuatannya, merupakan penghargaan yang sangat tinggi
atas profesi seseorang.

*****

Dalam sebuah ayat suci Al-Qur’an dinyatakan: “orang-orang yang berpegang
pada janji mereka, di kala menyampaikan prasetia” (wa al-mufuuna bi
‘ahdihim idza ‘aahadu) jelas menunjuk kepada profesionalisme seperti
itu. Bukankah manusia paling mengutamakan janji profesi ketika
mengucapkan prasetia? Dikombinasikan dengan pengamatan Torrey di atas
jelaslah bahwa Islam memberikan penghargaan sangat tinggi kepada
profesi. Hal inilah yang justru hilang dari kehidupan kaum muslimin
dalam beberapa abad yang silam, karena memberikan tempat terlalu banyak
kepada kaum penguasa, serta kebijakan-kebijakan dan tindakan-tindakan
mereka, alias pemberian perhatian terlalu besar porsinya kepada aspek
politik dalam diri kehidupan bangsa-bangsa muslim.

Sebagai akibat, perhatian atas masalah-masalah profesional ternyata
kurang besar, dan dengan sendirinya pemikiran ke arah itupun menjadi
sangat kecil. Pada saat yang sama, banga-bangsa Barat telah mencurahkan
perhatiannya yang sangat besar kepada masalah-masalah profesi. Dengan
sendirinya, pertautan antara Islam sebagai ajaran dan profesi sebagai
penerapan ajaran-ajaran tersebut, menjadi tidak bersambung satu sama
lain. Ini mengakibatkan ketertinggalan sangat besar dalam pemahaman
Islam sebagai agama kehidupan di kalangan para pemeluknya. Karenanya,
diperlukan sebuah keberanian moral untuk merambah jalan baru bagi sebuah
penafsiran, yang tidak lain adalah sebuah pendekatan profesional.
Kita ambil sebuah firman dalam kitab suci Al-Qur’an: “jika kalian di
sapa dengan sapaan yang baik, maka sapalah dengan ungkapan yang lebih
baik lagi” (wa idza huyyitum bitahiyyatin fa hayyu bi ahsana minha),
jelas-jelas memerlukan pendekatan profesional, katakanlah bagi seorang
produsen barang. Artinya, kalau barang produksi anda dipuji orang lain,
maka tingkatkanlah mutu produksi barang itu sebagai jawaban atas
pernyataan baik yang diucapkan. Hanya dengan cara itulah seorang muslim
dapat membuat interpretasi atas perbuatan-perbuatan kita di dunia ini.

*****

Kalau hal ini kita renungkan secara mendalam, jelas bahwa Islam
memperlakukan kehidupan sebagaimana mestinya. Sebuah pemahaman yang
benar akan menunjuk kepada kenyataan bahwa Islam bukanlah agama politik
semata. Bahkan dapat dikatakan bahwa porsi politik dalam ajaran Islam
sangatlah kecil, itupun terkait langsung dengan kepentingan orang
banyak, yang berarti kepentingan rakyat kebanyakan (kelas bawah di
masyarakat). Kalau hal ini tidak disadari, maka politik akan menjadi
panglima bagi gerakan-gerakan Islam dan terkait dengan institusi yang
bernama kekuasaan.

Bukankah ini bertentangan dengan firman Allah dalam kitab suci
Al-Qur’an: “apa yang diberikan Allah kepada utusan-Nya sebagai pungutan
fai’ dari kaum non-muslim (sekitar Madinah), hanya bagi Allah,
Utusan-Nya, sanak keluarga terdekat, anak-anak yatim, kaum miskin dan
pejalan kaki untuk menuntut ilmu dan beribadat, agar supaya harta yang
terkumpul tidak hanya beredar di kalangan kaum kaya saja di lingkungan
kalian” (maa afaa Allahu min ahli al-Qurra fa lillahi wa rasulihi wa
lidzi al-qurba wa al-yatama wa al-masaakini wa ibni al-sabil, kaila
yakuuna duulatan baina al-aghniya’ minkum). Bukankah Islam mementingkan
fungsi pertolongan kepada kaum miskin dan menderita, dan tidak
memberikan perhatian khusus tentang bentuk negara yang diinginkan?
Ini tentu berarti Islam lebih mementingkan pendekatan profesional, dan
bukannya pendekatan politis dalam memandang sesuatu persoalan. Kalau
saja ini dimengerti dengan baik, akan menjadi jelaslah mengapa Islam
lebih mementingkan masyarakat adil dan makmur, dengan kata lain
masyarakat sejahtera, yang lebih diutamakan kitab suci tersebut dari
pada masalah bentuk negara. Kalaulah hal ini disadari sepenuhnya oleh
kaum muslimin, tentulah salah satu sumber keruwetan dalam hubungan
antara sesama umat Islam dapat dihindarkan. Artinya, ketidakmampuan
dalam memahami hal inilah, yang menjadi sebab kemelut luar biasa dalam
lingkungan gerakan Islam dewasa ini.

Paso, 24/5/2002
*Penulis adalah ketua umum dewan syura DPP PKB, di ‘copy paste’ dari http://wahidinstitute.blogspot.co.uk